Setiap kali bertemu dengan seorang teman sekampung yang satu ini, selalu saja muncul dua perasaan yang bertentangan. Di satu sisi saya merasa selalu iba, sementara di sisi lain justru malah menimbulkan keriangan yang tiada tara.
Betapa tidak. Walaupun usianya lima tahun lebih tua dari saya, akan tetapi saat masuk sekolah dasar teman yang satu ini justru tertinggal dua tahun dari saya. Sehingga ketika dia masuk SD, saya sudah duduk di bangku kelas tiga.
Hal itu terjadi lantaran ia mengalami cacat fisik bawaan, kakinya kecil sebelah. Sebelah kiri kalau tak salah. Demikian juga pertumbuhan badannya pun menjadi lambat karenanya.
Meskipun demikian, di kelasnya saya melihat ia selalu tampil sebagai 'raja' bagi murid lainnya. Mungkin karena faktor usia juga. Ditambah punya seorang ayah yang di kampung kami dikenal sebagai guru silat. Maka siapa orangnya yang berani macam-macam pada anak guru silat, sekalipun fisiknya cacat.
Kecuali kepada kakak kelas, termasuk saya, tak pernah berani bersikap berlebihan. Mungkin karena selain memiliki tubuh yang lebih besar, jumlah murid laki-lakinya pun sedikit lebih banyak daripada anak kelas satu. Bahkan ia pun kadang-kadang bergabung dengan kami, dan menjadi 'anak bawang' pun sepertinya tak mengapa. Soalnya mungkin sesekali butuh pengakuan yang lebih dari sesama anak kelasnya. Paling tidak dirinya bisa berteman dengan kakak kelas merupakan suatu kebanggaan juga.
Demikian juga ketika kami telah menginjak usia remaja. Walaupun kebetulan di kampung kami hanya beberapa orang saja yang melanjutkan sekolah ke SMP, Â dalam bermain dia tetap ikut 'geng' kami. Anak SMP yang punya gengsi lebih tinggi dari anak-anak yang masih duduk di bangku SD. Bagaimanapun sebagai siswa SMP di kota kecamatan, dianggap memiliki pergaulan yang lebih luas lagi dari mereka.
Bisa jadi karena faktor itu juga kiranya yang membuat 'geng' kami memiliki warna lain di kampung kami. Bahkan istilah 'geng' itupun adalah hasil pergaulan semenjak duduk di bangku SMP.
Tradisi ngaliwet, yakni bikin nasi liwet untuk dimakan bersama-sama sesama teman satu 'geng', merupakan hal yang tidak dilewatkan saban malam Minggu tiba.
Ada pun berasnya, minta sama ibu masing-masing. Patungan. Kalau tidak bergiliran. Layaknya arisan. Sedangkan untuk lauknya? Nah, ini pula yang menjadi keseruannya. Bagi kami, tentu saja, sebagai ajang uji nyali, dan unjuk gigi siapa di antara kami yang paling berani.
Apa lagi kalau bukan berani mencuri ikan dari kolam milik orang, atawa mengambil ayam dari kandang miliknya tetangga. Paling tidak sasaran yang lebih gampang adalah milik orang tua sendiri, tapi tanpa sepengetahuan mereka tentunya.
Di antara semua sesama teman 'geng' yang dianggap paling berani, nyatanya teman kami yang cacat fisiknya itu. Sungguh, selain memiliki nyali yang tinggi, iapun cukup lihai dalam mengambil ayam dari kandang tanpa menimblkan keributan. Entah pakai jampi-jampi, entah memang ayamnya sudah kenal sama dia. Sampai sekarang dia sendiri tak pernah buka rahasianya.