Hari ini, Rabu (8 Maret 2017), saat membuka Google, pada laman mukanya tertera gambar yang memberitahukan kalau hari ini adalah Hari Perempuan Internasional. Sepertinya saya berniat untuk menyampaikan ucapan selamat kepada ibunya anak-anak, alias istri tercinta yang sudah 32 tahun mendampingi dalam suka dan duka.
Hanya saja, istri saya sudah berangkat ke kantornya, dan saya terpaksa harus menunggu sampai sore nanti, bila dia sudah pulang dari tempat kerjanya. Meskipun memang bisa saja saya menyampaikan ucapan selamat Hari Perempuan Internasional, ini lewat pesan pendek (SMS), atawa WhatsApp, namun rasanya tidak akan terasa istimewa, dan paling tidak menjadi sebuah surprise tersendiri bagi kami.
Bagaimana pun sesuatu yang menyangkut dunia perempuan, terutama hari ulang tahunnya, saya selalu berusaha untuk membuatnya merasa bahagia. Meski dengan cara yang sangat sederhana, seperti sekedar memberi ucapan selamat, asal disampaikan dengan tulus – tentu saja, mata istri saya akan tampak berbinar, dibarengi helaan napas panjang yang menyiratkan rasa bahagia di saat menyambutnya.
Memang selama kami berdua mengayuh biduk rumah tangga, selama 32 tahun, itu senantiasa penuh dinamika. Selain ada suka dan duka, juga bahagia dan derita acapkali kami rasakan. Bahkan pertengkaran karena hal sepele pun sering terjadi di antara kami.
Hanya saja perselisihan itu pun tidak pernah berlarut lama. Terlebih lagi bila sudah tiba waktunya makan, meskipun dirinya yang memulai perselisihan itu misalnya, akan tetapi dengan nada suara riang, dan seakan tak ada lagi menyisakan kekesalan di wajahnya, selain memanggil anak-anak, saya pun selalu diingatkan untuk makan bersama.
Ya, masalah makan bersama pula kiranya yang menjadi salah satu perekat langgengnya rumah tangga kami. Meskipun hanya dengan lauk-pauk seadanya, paling tidak hanya ada dua-tiga jenis saja yang terhidang di meja makan, akan tetapi hikmahnya begitu terasa nikmat.
Terlebih lagi karena lauk-pauk yang dihidangkan adalah hasil masakan istri saya sendiri. Misalnya saja bila untuk sarapan pagi, maka selesai menunaikan shalat Subuh, sebagaimana biasanya dia langsung bersibuk-ria di dapur. Mungkin karena selera di antara kami dan dua orang anak yang sampai saat ini masih bersama kami, masing-masing kepala berbeda-beda, maka selain menanak nasi, ia pun terkadang membuat nasi goreng, dan telur dadar, dan tak lupa ditambah  juga dengan sambal goreng yang sedikit pedas, namun malah semakin menambah selera.
Sementara untuk makan siang, Â berhubung istri saya masih di kantornya, dan anak-anak masih besekolah, maka istri saya sudah menyiapkannya di waktu pagi juga, karena di rumah hanya tinggal saya saja. jadi porsinya pun cukup untuk satu orang. Dan untuk lauk-pauknya, sebelum memasak, istri saya selalu bertanya ingin dimasakkan apa hari ini. Padahal dia sendiri sebenarnya sudah tahu kalau sayur lodeh, dan tumis ikan peda, ditambah semur jengkol (kalau ada) Â merupakan hidangan pavorit saya.
Walaupun begitu sederhana, jenis masakan yang saya suka, dan bukan steak, atau burger yang dicampur salad, akan tetapi, sungguh, nikmatnya luar biasa.
Campuran berbagai bumbu di dalamnya begitu pas di lidah saya. Terlebih lagi karena istri saya tak pernah alpa, dan senantiasa memberi Ajinomoto agar semakin terasa girinyih (Bahasa Sunda yang artinya identik dengan gurih) dalam setiap masakannya.
Bisa jadi  karena itu juga cinta kasih saya terhadapnya tumbuh bersemi hingga saat ini. Bukan karena sebagaimana pepatah Jawa yang berbunyi witing tresna jalaran saka kulina, atau tumbuhnya cinta kasih karena sering bertemu, yang bisa juga identik dengan ‘Dari mata turun ke hati’, tetapi yang terjadi di antara kami lebih tepat kalau disebut dari ‘Dari lidah turun ke hati’.