Perang ujaran yang marak di media sosial, sehingga menghebohkan menjadi viral, merupakan salah satu cara dalam pesta demokrasi kali ini. Terutama yang begitu nampak kentara, jelang putaran kedua Pilkada DKI Jakarta. Untuk menjatuhkan mental rival, sekaligus mempengaruhi calon pemilih dalam menentukan pasangan mana yang akan dipilihnya nanti, di bilik suara – tentu saja.
Bisa jadi media sosial yang tidak mengenal editan, dan begitu bebas digunakan merupakan sarana yang paling ampuh digunakan di masa kekinian. Tidak sekedar untuk mengekspresikan perasaan hati pengguna saja, bahkan untuk menyebar berita yang entah itu berdasarkan fakta, atawa juga sebaliknya yang dikenal dengan hoax sebagai sebutan kerennya, termasuk dalam kegiatan kampanye pesta demokrasi, sudah tidak bisa dinafikan lagi memang.
Hanya saja yang menjadi masalahnya, meskipun dalam penggunaannya tidak mengenal rambu-rambu aturan tertentu, namun pada ahirnya tetap saja apabila seorang pengguna media sosial sudah kebablasan, semisal menyebar berita hoax yang memfitnah, atawa mengungkapkan ujaran kebencian kepada seseorang, aparat penegak hukum pun tak tinggal diam. Undang-undang yang mengatur masalah itu bakal menghadang.
Sebagaimana yang terjadi baru-baru ini. Tim hukum pasangan calon Anies- Sandi telah melaporkan sebuah akun Twitter ke pihak kepolisian. Laporan tersebut terkait dugaan pelanggaran Undang Undang nomor 11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik Pasal 27 ayat 3.
Tim hukum pasangan Anies-Sandi, ini melaporkan akun tersebut terkait isi di dalam kicauannya yang dinilai mengandung fitnah dan mencemarkan nama baik Anies, yang saat ini menjadi salah satu calon gubernur DKI Jakarta.
Ada pun isi kicauan akun tersebut menyebutkan Anies Baswedan memiliki istri simpanan, dan selingkuhan.
Perihal kicauan di media sosial yang demikian itu, bisa jadi bagi kubu Anies Baswedan merupakan sesuatu yang lumayan menggerahkan. Makanya tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, misalnya saja dengan mengkaji-ulang permasalahan secara lebih matang, ditinjau dari berbagai aspek yang justru bakal timbul kemudian, kubu Anie buru-buru melaporkan kicauan itu ke pihak kepolisian.
Padahal bila sejenak saja kubu Anies mampu menahan kekesalan, atawa paling tidak mencoba menengok ke belakang, sebagaimana gegap-gempitanya Pilpres 2014 lalu, dan Anies sendiri ikut terlibat di dalamnya – menjadi tim sukses Jokowi-JK, bukankah serangan demi serangan, berupa fitnah dan olok-olok bernada kebencian dari pihak rival bertubi-tubi datang ditujukan kepada Jokowi saat itu.
Mulai dari disebut sebagai Capres boneka, dituding sebagai keturunan Cina, sampai difitnah keturunan PKI pula. Bahkan meme bernada ejekan pun bertebaran di media sosial.
Apa reaksi Jokowi saat itu?
Jokowi tak bergeming sama sekali. Jangankan melaporkan segala fitnah dan hinaan itu, paling yang kerap terdengar Jokowi malah dengan santainya tertawa ngakak seraya mengucap Aku rak opo-opo. Jokowi sepertinya berpegang pada pepatah lama, “Biarlah anjing menggonggong, kafilah terus berlalu.” – saat itu.