Enam bulan lalu, tetangga saya yang terhalang tiga rumah di sebelah timur, setelah setahun menjanda, dikabarkan akan menikah lagi. Lelaki yang melamarnya konon Wong Tegal yang bertemu dengan tetangga saya tersebut ketika keduanya sama-sama sedang di kota B. Tetangga saya bekerja sebagai baby sitter, sedangkan Si Mas orang Tegal itu – akunya ketika sebelum acara akad nikah dilangsungkan, berprofesi jual-beli barang antik.
Di mata orang kampung, penampilan Si Mas yang satu ini memang cukup lumayan. Malah gayanya sedikit seperti orang kota laiknya. Meskipun tidak mengenakan setelan jas, dengan kemeja batik dan celana warna hitam dari bahan wol, calon pengantin pria yang tanpa pengiring itu boleh dibilang cukup meyakinkan. Apa lagi maskawin yang akan diberikan kepada calon mempelai wanita adalah sebuah kalung mas seberat sepuluh gram, dan sebentuk cincin tiga gram.
Hanya saja saat berlangsung akad nikah, selain penghulunya harus menggunakan dua bahasa, yaitu Sunda dan bahasa Indonesia, muncul anekdot yang membuat banyak orang tergelak. Selain aksen Tegal yang begitu kental di lidah Si Mas, juga ternyata pendengarannya tidak normal, alias tuli, sehingga penghulu harus sering mengulang kata-kata yang diucapkannya untuk diikuti calon pengantin pria itu.
Usai pesta pernikahan yang memang sederhana, karena sebagaimana diketahui, tetangga saya itu janda dengan tiga anak dari suaminya yang terdahulu, juga kehidupnya pun boleh dikatakan masih membutuhkan uluran tangan orang lain. Tetapi, setelah bersuami dengan pria asal Tegal itu, hampir semua tetangga sekitar mengucap syukur Alhamdulillah. Betapa tidak, kelihatannya banyak perubahan yang terjadi. Segala kebutuhan hidup sehari-hari, nampaknya mampu dipenuhi. Malahan selang satu bulan setelah pernikahan, rumah panggung peninggalan suami terdahulu yang memang kondisinya sudah banyak kerusakan di sana-sini, oleh Si Mas langsung direnovasi.
Selain itu, yang paling menjadi bisi-bisik tetangga, adalah kemesraan pasangan itu. Meski keduanya sudah berusia di atas kepala lima, tetapi pengantin baru itu seperti perawan dan bujang saja tampaknya. Seperti biasanya, melihat keadaan seperti itu, ada yang mencibir, ada yang tergelak, dan ada juga yang geleng-geleng kepala. Kemungkinan keduanya sedang memasuki masa puber kedua setelah lama hidup sorangan wae, menjomblo, alias melajang.
Akan tetapi hubungan suami-istri tersebut ternyata tidak langgeng adanya. Minggu kemarin, setelah usia perkawinan mereka memasuki bulan keenam, dari mulut ibu-ibu tetangga sekitar yang hobinya menggosip tersiar kabar kalau dari rumah pasangan itu seringkali terdengar suara istrinya mencak-mencak, seperti sedang memarahi suaminya yang wong Tegal itu. Hanya saja suara hardikan, dan umpatan perempuan itu tidak pernah terdengar ada balasan dari suaminya. Walhasil, kesimpulan sementara para ibu itu, bukan sedang terjadi pertengkaran dalam rumah itu, melainkan istrinya sedang memarahi suami sendiri. Dan sampai saat itu yang menjadi sebab tetangga kami memarahi suaminya, belum satu orang pun tetangga yang mengetahui dengan pasti.
Barulah tadi pagi saya sendiri mengetahui duduk perkara yang sebenarnya. Paling tidak karena informasi itu keluar dari mulut Si Mas sendiri. Ketika saya sedang menikmati segelas kopi dan goreng ubi, dari luar terdengar seseorang mengetuk pintu seraya mengucap salam. Tetapi sebelum saya melihat siapa tamu yang muncul sepagi ini, dari suara dan aksennya sudah bisa ditebak kalau itu adalah si Mas, suami tetangga saya.
Hanya saja yang membuat saya heran, kemunculan Si Mas tidak seperti biasanya. Kali ini saya melihat di punggungnya dia menggendong buntalan kain sarung. Ditambah lagi mukanya begitu kusut, seperti sedang memiliki permasalahan yang lumayan besar.
“Pak’e, kedatangan saya ini tidak lain untuk pamitan, mohon diri...” katanya sambil mengajak bersalaman.
“Pamitan bagaimana, Mas. Mau mudik ke Tegal?” Sebagaimana bisa, suara saya agak keras kalau bicara dengan orang satu ini.
“Bukan hanya mudik, Pak’e. Tapi pulang untuk selamanya...”