[caption caption="Ilustrasi beras (Sumber: Kompas.com)"][/caption]Sudah dua bulan ini jatah raskin yang diterima RT yang akan dibagikan kepada Rumah Tangga Sasaran Penerima Manfaat (RTSPM) dikemas dalam karung ukuran 50 kg. Sehingga kesulitan pun bertambah lagi. Karena biasanya setiap warga yang berhak menerimanya itu tinggal memanggul satu karung ukuran 15 kg, maka sekarang ini karung itu musti dibongkar. Lalu isinya ditimbang lagi sebelum diterima masing-masing warga RTSPM.
Persoalan baru pun muncul. Dan RT dibuat pusing tujuh keliling, tentu saja. Isi karung itu tidak pernah pas 50 kg ternyata. Kadang-kadang dari setiap karungnya ada yang susut 2, 3, 4, 5, malahan sampai ada yang 10 kg kurangnya itu. Persoalan itu pun kembali menjadi bebannya memang.
Setelah menyeruput kopinya, Pak RT melepas peci hitamnya. Lalu rambut di kepalanya yang sudah hampir semuanya memutih itu digaruk-garuk dengan jari tangannya.
“Pusing... Pusing. Padahal saya harus tetap menyetor sesuai jumlah karung yang diterima,” keluhnya.
“Lalu bagaimana untuk mengganti kekurangannya?” tanya pemilik warung kopi menyelidik.
“Itulah masalahnya. Gaji RT saja ‘kan cuma Rp 30 ribu saja yang saya terima saban bulannya. Itu pun dirapelkan setiap triwulan sekali. Sedangkan penghasilan dari kuli ngangkut pasir pun paling cukup buat kebutuhan dapur sehari-hari. Kadang-kadang malahan sering kurang juga.”
“Maka dari itu, sebagaimana kita ketahui selama ini, harga jual raskin tidak lagi sesuai pagu, yakni Rp 1.600 per kilogramnya. Mengingat karena sering terjadinya penyusutan, yang entah apa sebabnya, lalu biaya angkut dari titik distribusi pada masing-masing RT, maka atas kesepakatan semua pihak, pemerintah desa terpaksa menaikkan jumlah harga raskin sebesar itu Rp1.800-Rp2.000 per kg,” terang Pak RT seperti sedang berorasi saja laiknya.
“Tapi masalah ini jangan sampai didengar LSM dan wartawan, ya. Bisa bahaya. Paling tidak uang yang seharusnya untuk mengganti biaya angkut dan penyusutan, malah diberikan pada mereka.”
“Masalah raskin ini seperti benang kusut saja memang. Sekilas pemerintah telah melaksanakan amanat UUD ’45 memang. Tetapi dalam kenyataannya seakan hanya setengah hati. Rakyat miskin masih saja tetap berada di pinggiran. Malahan seakan tepat berada di tepi jurang,” Jang Ridwan buka suara. Semua mata menatap ke arahnya.
“Coba saja bayangkan. Beras yang diterima mereka selain begitu buruk kualitasnya, tidak pernah pas lagi timbangannya. Keluhan itu sepertinya selalu terdengar, tetapi pemerintah seolah tetap saja tidak pernah mau memperbaikinya. Demikian juga halnya dengan harga jual yang tidak sesuai dengan pagu – seperti yang dikatakan Pak RT tadi, suka maupun tidak suka tetap saja pelanggaran namanya. Tetapi hal itu tidak hanya terjadi di desa kita, pada umumnya di desa lain pun mengalami kejadian serupa. Sebagaimana ditetapkan, titik distribusi raskin adalah di setiap kantor Desa. Sedangkan luas wilayah sebuah desa yang paling sedikit memiliki tiga kedusunan, rata-rata mencapai radius dua kilometer. Suatu hal yang mustahil seorang warga RTSPM yang berdomisili di kedusunan yang jaraknya paling jauh dari titik distribusi, dan kondisinya sudah jompo lagi, harus mengambil beras sendiri yang beratnya 15 kilogram.
Sementara masalah LSM dan wartawan, pada dasarnya mereka sudah melakukan tugasnya sebagai kontrol sosial. Apa salahnya Pak RT berterus terang, dan biarkan mereka melihat dengan mata kepalanya sendiri permasalahan yang sebenarnya terjadi. Siapa tahu mereka akan membantu untuk memecahkan permasalahan ini. Hanya saja bila ada LSM dan wartawan yang disumpal dengan amplop lalu pulang, itu lain lagi persoalannya. LSM dan wartawan seperti itu abal-abal namanya.”