[caption caption="Ilustrasi"][/caption]Heboh perilaku penyimpangan seks seorang seleb yang dibeberkan dua korbannya, tiba-tiba mengingatkan penulis dengan kejadian di masa remaja, sekitar 40 tahun lalu. Mengingat peristiwa itu sungguh menyakitkan memang. Tapi, paling tidak dengan cara berbagi seperti ini, beban yang tak diharapkan itu dapat bekurang, syukur-syukur dapat lenyap tanpa bekas sama sekali dari dalam hati.
Pacar saya, yang baru saja menyelesaikan kuliahnya di kota B, tiba-tiba saja mengirim undangan pernikahan yang dititipkan pada adiknya, teman sekelas saya di SMA. Awalnya saya tidak percaya dengan kenyataan itu. Bahkan saya punya pikiran kalau undangan pernikahan itu hanyalah sebuah testcase, sejauh mana saya mencintai dirinya. Atawa, dugaan saya yang kedua, adalah dia sedang menguji mental saya, karena usia kami yang jauh berbeda. Saya 17, dan pacar saya sudah lewat seperempat abad.
Tapi ketika adiknya yang memberikan surat undangan itu saat jam istirahat dengan muka serius berkata, “Kamu yang tabah ya, kakakku memang akan melangsungkan pernikahannya dengan pria yang jadi pacar pertamanya. Seorang pelaut. Kamu juga harus memaafkannya, karena pasti kamu merasa telah dikhianati...”
Saya tidak dapat mendengar omongan selanjutnya, karena saya langsung beranjak pergi meninggalkannya, menuju tempat parkir. Lalu saya memacu sepeda motor menuju ke rumah pacar saya.
Sungguh. Saya sungguh-sungguh tak percaya dengan kenyataan di depan mata. Saya melihat tenda birum dan janur kuning, serta segala pernik sebuah pesta pernikahan di halaman rumah pacar saya. Lalu sebuah tulisan dengan ukuran lumayan besar yang terbuat dari rangkaian bunga yang berbunyi: Mohon Do’a Restu atas Pernikahan....
Ah. Saya kecewa. Sangat kecewa. Betapa tanpa ada angin, tanpa ada petir, dan cuaca pun begitu cerahnya, tiba-tiba hujan turun dengan derasnya. Hubungan saya dengannya selama ini sepertinya tidak ada masalah – kecuali perbedaan usia, tentu saja. Setiap hari libur saya pergi berkunjung ke kota B, atawa sebaliknya dia pulang ke kota kecil kami. Dan hubungan kami pun sudah berjalan cukup lama sejak saya duduk di kelas satu SMA, dan dia sendiri kuliah di perguruan tinggi ketika semester dua. Tapi hari itu, saya menuding dia sebagai seorang yang tak berperasaan. Selama tiga tahun ternyata saya hanyalah dijadikan sebagai ban cadangan.
Kekecewaan itu membuat saya limbung. Padahal ujian ahir sebentar lagi. Tapi saya seakan tak peduli. Saya lebih banyak menghabiskan waktu di jalanan. Terutama bila malam menjelang. Dan dalam kehidupan di waktu malam juga saya dipertemukan dengan seorang pria yang begitu perhatian kepada saya.
Ketika itu saya sedang kongkow dengan teman-teman. Dalam keadaan setengah mabuk, seorang pria yang kami kenal sebagai pemilik sebuah salon kecantikan di kota kami menghampiri saya. dengan sikap yang akrab dan ramah, layaknya seorang kakak terhadap adiknya, pria itu memberikan nasihat agar saya melupakan kejadian yang baru saja saya alami. Bahwa kekecewaan, patah hati, atawa ditinggal pergi, merupakan peristiwa yang pernah dialami oleh setiap orang dalam hidupnya. Dan bla-bla-bla... Padahal sebelumnya pria itu tidak seakrab saat itu. Hanya saja yang jelas, saat itu saya merasa begitu nyaman dan tenteram. Sehingga saya seakan memiliki seorang kakak yang tak pernah saya miliki sebelumnya. Bahkan malam itu saya diajak menginap di rumahnya. Karena selain sudah larut malam, juga dia pun tahu kalau rumah saya terletak di pinggiran kota. Jelasnya di pelosok desa yang berjarak sekitar 6 kilometer dari kota kecil kami.
Sejak itulah hubungan kami bertambah akrab saja. Rambut saya yang gondrong dirapikannya. Saya pun tak berpakaian dekil lagi. Sekali-kali saya masih suka nginap di rumahnya. Apalagi istrinya pun dengan terbuka menerima saya, dan menganggap saya sebagai keluarganya. Kadang-kadang saya ikut membantunya kalau ada panggilan untuk merias pengantin.
Karena merias calon pengantin itu biasanya memakan waktu lama, tak jarang kami baru bisa kembali pulang di larut malam. Sebagaimana ketika peristiwa itu terjadi, setelah melepas lelah sehabis perjalanan dari merias seorang calon pengantin di kota tetangga, dia meminta saya untuk tidur bersamanya. Kebetulan istri dan anaknya yang masih kecil itu sedang ke rumah orang tuanya. Jadi rumah hanya kami berdua saja. Semula saya tidak menaruh curiga sedikit pun. Dalam hati saya hanya menduga kalau dia merasa takut tidur sendirian. Maka saya pun menerima ajakannya.
Antara sadar dan tidak, dalam tidur, saya merasakan ada tubuh yang menindih saya. Lalu saya merasa tubuh saya sudah tidak berpakaian lagi. Padahal waktu akan tidur saya masih berpakaian lengkap. Dan biasanya pun demikian. Sementara wajah saya merasa basah, dan ada dengus nafas yang begitu dekat.