Sambil menikmati kopi panas, Pak Kadar membuka pembicaraan. Jelasnya mengeluarkan segala uneg-uneg yang menggelayut dalam dadanya.
“Coba bagaimana pendapatmu, Him tentang masalah ini ?”
Mendapat pertanyaan demikian, Si Bohim melengos, bibirnya bergerak-gerak menahan tawa yang hampir saja meledak. Tumben majikanku ini minta saran dariku. Padahal sebelumnya belum pernah sekalipun aku mendengarnya permintaan semacam itu, celoteh dalam hatinya.
“Tidak salah tuh Aden minta saran dari saya ? Rasa-rasanya orang bodoh macam saya mana bisa ngasih saran sama Aden yang pintar dan kaya.”
“Sudahlah, Him. Aku tadi sudah katakan, aku sadar. Orang-orang pada menjauhiku karena aku selama ini selalu mengabaikan saran dan pendapat mereka. Sehingga sampai hari ini tinggal kamu seorang yang masih setia. Oleh karena itu tak ada salahnya aku minta saran dan pendapat kamu, bagaimana caranya agar aku dapat kembali merebut dukungan warga, agar dalam Pilkarut nanti aku dapat mengalahkan rivalku ?”
“Aden ingat tidak waktu cinta Aden ditolak Marni dulu?”
“Lha koq malah bicara masa lalu, Him, bagaimana maksudmu ini ?”
“Justru karena masa lalu dapat dijadikan cermin untuk langkah kita di waktu yang akan datang.”
“Terus ?”
“Waktu itu Aden kan marah besar. Malah sawah yang dipiara bapaknya Marni mau Aden cabut. Tapi karena saya tahu Aden sangat penasaran pada Marni, dan ingin sekali memilikinya, saya melarang Aden bersikap kasar. Malah saya meminta Aden untuk memperlihatkan hati yang ikhlas atas penolakan Marni. Lalu terhadap orang tua Marni saya menyuruh Aden untuk memberikan perhatian lebih dari biasanya. Nah, ahirnya – meskipun rada lama juga, malah Marni yang tergila-gila sama Aden.”
“Lalu apa hubungannya dengan masalah yang aku hadapi sekarang ?”