Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, kata jijik memiliki arti: 1. Tidak suka melihat (mual, dsb) karena kotor, keji, dsb. 2. (dipakai sebagai) kata seru untuk menyatakan rasa tidak suka (karena keji, kotor, dsb.)
Maka ungkapan Wakil Ketua DPR RI dari fraksi PKS kepada media, bahwa ada pihak yang sengaja menggiring isu pertemuan Ketua DPR Setya Novanto dan Wakil Ketua DPR Fadli Zon dengan bakal calon presiden Amerika Serikat, Donald Trump, ke arah pergantian kursi pimpinan DPR, kemudian dengan nyinyir dan sinisnya Fahri pun mempersilahkan jika ada pihak-pihak yang ingin mengambil kursi pimpinan yang kini ia duduki.
"Siapa yang mau ambil kursi saya? Ambil! Jijik deh saya. Biarlah buka pintu, ambil saja," kata Fahri di Kompleks Parlemen Senayan, Jakarta, Selasa (8/9/2015).
Bisa jadi Fahri ketika itu merasa kesal, dan tidak suka kepada pihak yang telah membuka isu tersebut, apalagi diembel-embeli akan mengkudeta kursi pimpinan DPR – termasuk kursinya sendiri, tentu saja. Namun bila dikaji, apa yang dia katakan tidaklah sesuai dengan kata hatinya sendiri. Orang semacam Fahri Hamzah ini kalau ditilik dari setiap gestur dan statemennya menandakan sebagai orang ambisius. Bagaimanapun kursi pimpinan DPR yang saat ini didudukinya, paling tidak bagi yang bersangkutan merupakan sebuah prestasi(?) dalam karir politik yang ditekuninya selama ini. Sehingga ketika muncul isu seperti itu, diapun bersikap mencak-mencak – seperti biasanya.
Sebagaimana dalam isu yang tak kalah hangatnya saat ini, yaitu kenaikan tunjangan anggota Dewan, sosok yang satu ini paling nyaring bersuara. Malahan saat isu itu menuai polemik di tengah publik, dengan entengnya diapun merasa curiga terhadap mereka yang mempersoalkannya.
Diapun berkilah kalau meributkan masalah kecil (tunjangan yang berasal dari APBN dikatakan masalah kecil!) justru menghambat kinerja DPR, terutama dalam fungsi pengawasan terhadap eksekutif yang memegang anggaran paling besar dari APBN, yakni Rp 2.035 triliun pada 2015.
Maka tidak ada salahnya jika publikpun menyikapi sikap seorang wakil rakyat bernama Fahri Hamzah ini dengan perasaan jijik pula sebagaimana yang pernah diungkapkannya itu. Selain karena dianggap sudah gagal paham dengan tugas dan kewajibannya sebagai wakil rakyat, diapun sudah begitu meminta banyak haknya, sedangkan kerjanya hingga saat ini tidak jelas dan dipertanyakan banyak pihak.
Anggota Dewan, termasuk Fahri Hamzah ini, dalam kondisi perekonomian yang yang dianggap banyak orang sedang terpuruk ini, tampaknya hanya bisa menuding pemerintah yang dianggap tidak becus melepaskan diri dari keterpurukan ini, sementara publik pun mempertanyakan apa yang sudah anggota dewan lakukan untuk masalah itu, bahkan sebaliknya justru menuntut kenaikan tunjangan, dan sama sekali tidak memperdulikan keadaan rakyat kecil yang dulu sudah mengantarkannya untuk duduk di kursi dewan yang terhormat.
Lha, lalu bagaimana rakyat mau mendukung anggota dewan yang bersikap demikian, apalagi ditambah dengan sikapnya yang sok dan arogan. Sehingga jika terus demikian, ungkapan apalagi yang lebih pantas ditujukan pada anggota dewan kalau bukan: memalukan dan... sekali lagi (pinjam yang dikatakan Fahri Hamzah) sungguh menjijikan memang.
Oleh karena itu kinerja anggota DPR dalam menjalankan fungsi legislasi, budgeting, dan pengawasan sudah seharusnya segera diaudit. Karena jika diperhatikan tampaknya  tak ada satu pun produk legislasi yang disahkan selama periode ini. Tampaknya parlemen saat ini cenderung mementingkan untuk menyelesaikan atau membahas produk legislasi yang berkaitan dengan kepentingan parpol mereka belaka.
Bila perlu, seluruh rakyat Indonesia yang diwakili mereka harus ikut untuk mengaudit kinerja mereka.