Perempuan itu menatap jalan lengang di depannya. Angin kemarau bertiup kencang, membuat debu dan dedaunan kering yang berserakan meliak-liuk beterbangan. Sementara matahari tepat berada di titik kulminasi.Panas memanggang. Begitu gersang. Lalu perempuan itu membuang pandang ke belakang. Tanpa terasa air di danau kelopak matanya mulai menggenang. Meskipun dirasa tubuhnya lelah, dan hatinya gundah, ia sekuat tenaga yang masih tersisa mencoba mencari tempat yang teduh. Siapa tahu akan memberi sedikit kenyamanan.
Ramadhan tinggal tiga hari lagi. Tiga hari lagi jelang Iedul Fitri. Hari itu merupakan hari kembalinya jiwa-jiwa yang suci. Karena sebulan penuh segala dosa dan kesalahan ditebus dengan segala kegiatan peribadatan. Bahkan perempuan itu melakoni ibadat shaum bukan hanya di bulan Ramadhan saja. Sejak sembilan bulan lalu hampir saban hari dirinya tak pernah makan-minum di siang hari. Terutama di hari Senin dan Kamis, yang merupakan sunah Sang Nabi. Selain berniat untuk itu, dirinya berharap untuk tidak berdamai dengan emosi. Ya, terutama perasaan marah dan rasa sedih di hati yang dirasanya seringkali mendekati. Dirinya senantiasa berharap ada keajaiban yang terjadi. Paling tidak Yang Mahakuasa memberikan kedamaian dalam hidup di dunia yang sedang ia jalani sekarang ini.
Hanya saja perempuan itu juga sadar. Segala yang sekarang ini terjadi dan menimpa dirinya, tak lain dari keselahan dirinya sendiri. Suatu kesalahan yang teramat besar. Terutama di mata sang suami. Ya, kesalahan terhadap pasangan hidupnya itu. Bisa jadi karena itu pula suaminya seakan telah menghukum perempuan karena segala dosa besar yang telah diperbuatnya pada sembilan bulan lalu. Oleh karena itu dengan berpuasa selama itu pun perempuan itu mencoba untuk menebusnya.
Bagaimanapun memergoki suami yang selama ini dicintainya berselingkuh dengan perempuan lain, adalah pangkal dari segala yang sekarang ini terjadi. Dan hal itu berawal dari bisik-bisik orang sekitar juga. Maka suatu ketika ia mencoba untuk membuktikannya. Maka jelas sudah, desas-desus itu nyata benar adanya. Atas upaya mencari kebenaran itu juga, suaminya menjadi marah besar terhadap perempuan itu karenanya. Lalu suaminya pun menghukum dirinya. Selain tak diberi nafkah lahir maupun batin, sejak sembilan bulan lalu perempuan itu tak pernah sekali pun diajak berkata-kata. Bahkan bersitatap muka saja senantiasa dihindarinya.
Mula-mula perempuan itu merasakan hatinya sakit dan perih diperlakukan demikian. Ketika itu pula ia merasakan bagaikan layang-layang yang putus, melayang-layang tanpa arah dan tujuan. Lalu iapun mencoba untuk memohon maap kepada suaminya itu atas kesalahan yang telah ia lakukan. Namun tampaknya suaminya tak bergeming tanpa jawaban. Ahirnya ia pun mencoba bersandar berserah diri pada yang memiliki segala kuasa. Sementara dalam hatinya, masih menyala setitik harapan. Semoga suaminya sadar, dan mau memaapkan.
Tiga hari lagi jelang Iedul Fitri, Perempuan itu bergumam, “Akankah dia kembali ?”
Sedangkan sekarang matahari masih juga bersinar garang... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H