“Selama ini tidak pernah terpikirkan sama sekali, ternyata masih ada yang memperhatikan saya. Bahkan lebih jauh lagi, pernyataan kasih dan sayangmu begitu menyejukkan hati yang selama ini telah gersang mengerontang. Sungguh saya begitu tersanjung dibuatnya. Dan saya sangat menghargainya. Akan tetapi saya hanya mampu sebatas itu saja. Tak lebih. Sampai detik ini, terus terang saja, saya tak bisa membalas curahan kasih sayangmu yang begitu tulus itu...”
Membaca SMS balasan dari perempuan itu yang lumayan panjang, dan dengan ending yang jauh dari harapan, lelaki itu untuk sesaat terhenyak dibuatnya. Telepon pintar yang digenggamnya kemudian diletakkan di atas meja setelah menutup konten SMS itu. Lelaki itu mendengus. Sepertinya tak perlu untuk mengirim SMS lagi, pikirnya. Selain hanya akan membuang-buang waktu, tidak menutup kemungkinan perempuan yang dicintainya itu malah akan semakin menjauhinya. Kalau sudah begitu, tidak menutup kemungkinan hati lelaki itupun akan semakin terluka karenanya.
Bagaimanapun dengan mengirim SMS yang berisi curahan hatinya yang selama bertahun-tahun dipendamnya, lelaki itu merasakan dadanya begitu lega. Beban yang begitu berat bagaikan telah dilepaskannya seketika. Perkara dibalas ataupun tidak – sebagaimana yang terjadi saat ini, sesungguhnya bukan suatu masalah yang begitu penting. Bahkan sebelum mengirim SMS itu lelaki itu seperti seorang penjudi yang menghadapi urusan kalah-menang sebagai sesuatu hal yang biasa. Kasih sayang yang dicurahkan lewat SMS itu, mau dibalas ya syukur, dan kalaupun tidak tak mengapa.
Memang di satu sisi ada perasaan lega setelah mengirim SMS itu. Akan tetapi di sisi lain lelaki itu merasa telah membuat suatu kekeliruan. Pasalnya lelaki itu setelahnya sadar kalau telah mengirim SMS itu pada waktu dan keadaan yang tidak tepat. Tidak menutup kemungkinan kalau perempuan itu setelah membaca SMS yang dikirimnya menganggap dirinya sebagai lelaki yang suka memanfaatkan kesempatan.
Lelaki itu terkenang kembali kepada masa-masa yang pernah dilewati bersama perempuan itu. Manakala kebetulan ada kesempatan, perempuan itu seringkali mencurahkan keadaan yang dialaminya. Sebagai perempuan yang tersakiti oleh lelaki, bisa jadi perempuan itu membutuhkan tempat curahan hati untuk sekedar melepaskan rasa sakit yang dialaminya. Entah bagaimana perempuan itu justru memilih lelaki itu sebagai tempat mencurahkan segalanya.
Pada mulanya lelaki itu merasa prihatin dengan yang dialami perempuan itu. Kesetiaannya pada lelaki yang dicintainya telah dikhianati. Dan lelaki yang dicintai perempuan itu seolah tidak menyadari dengan kesetiaan perempuan itu, sebaliknya semakin hari justru kian menjadi-jadi. Dan sebaliknya lelaki itu begitu terkagum-kagum dengan kesetiaan perempuan itu. Meskipun bertepuk sebelah tangan, perempuan itu begitu tabah untuk mempertahankan kesetiaannya. Malahan sepertinya kesetiaan yang total dan membabi-buta.
Berangkat dari rasa prihatin dan kagum juga tampaknya benih-benih kasih sayang di dalam hati lelaki itu mulai tumbuh bersemi di dalam hatinya kepada perempuan itu. Memang karena merasa sudah begitu dekat dan akrab, di sela obrolannya lelaki itu pernah juga sekali dua meminta perempuan itu mengalihkan rasa cintanya pada dirinya saja. Tetapi bisa jadi perempuan itu menganggap permintaannya sebagai sebuah guyonan untuk menghibur duka yang melandanya belaka.
Apa boleh buat. Lelaki itu pun maklum karenanya. Diapun sadar, bagi lelaki yang menghargai lawan jenisnya dengan segala dunianya, apalagi dengan keteguhan hatinya yang begitu kuat, tak baik untuk mencoba memaksakan kehendak sesukanya. Bahkan kalau memang perasaan cinta dan kasih sayangnya kepada perempuan itu sebagai perasaan yang begitu tulus, akan lebih bagus lagi kalau tidak berharap pamrih sekecil apapun.
Biarkanlah cinta dan kasih sayang itu tetap tumbuh bersemi di dalam hati. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H