Di tengah hiruk-pikuknya kabar berita tentang korupsi, bencana alam, pemilu 9 April mendatang, lalu kabar perseteruan dengan negara tetangga, ternyata muncul juga berita yang tak kalah mencengangkannya. Pertama tentang seorang Pastor dari Kabupaten Sikka, NTT, bernama Herman Jumat Massan yang divonis mati karena telah melakukan pembunuhan terhadap seorang suster yang jadi kekasih gelapnya, serta dua anak hasil hubungan terlarangnya itu.Disusul kemudian dengan munculnya video kekerasan yang dilakukan seorang Da’i jebolan kontes Da'i di salah satu stasiun televisi terhadap seseorang ketika sang Da’i tengah berdakwah di depan banyak orang.
Bagaimana pun kesimpulannya adalah setali tiga uang, tentu saja. Perbuatan keduanya sama sekali tidak mencerminkan sebagai orang yang menjadi panutan bagi umatnya. Dan peribahasa guru kencing berdiri murid kencing berlari, bisa jadi akan berlaku dalam kasus seperti ini. Maka tidak menutup kemungkinan kalau seorang umat yang beragama katholik atau islam berbuat seperti kedua orang baik Pastor maupun Da’i tersebut,orang itu akan berkilah kalau pastor atau ustaz pun tokh melakukannya.
Padahal baik Pastor dalam khotbahnya, maupun Da’i saat berdakwah, mereka dengan mengutip sabda Tuhan yang termaktub dalam kitab sucinya masing-masing, sudah biasa mengajak para pemeluk agamanya untuk berbuat baik yang dilandasi kasih dan sayang, serta melarang untuk bersikap kasar, apalagi melakukan pembunuhan. Sebagaimana tercantum di dalam Sepuluh Perintah Allah (Dekalog) bagi umat Katholik, satu di antaranya terdapat larangan untuk melakukan pembunuhan. Begitu juga di dalam ajaran Islam, Allah Subhanahu wa ta’ala memerintahkan untuk memiliki rasa kasih dan sayang terhadap seluruh makhluk ciptaan-Nya.
Pastor dan Ustaz juga Manusia
Tidak menutup kemungkinan akan ada yang berkilah kalau Pastor maupun Ustaz juga manusia, yang tidak pernah lepas dari kealpaan. Karena di dalam diri manusia terdapat nafsu dan akal sehat. Akan tetapi alasan seperti itu kiranya terlalu dangkal untuk diucapkan bila yang bersangkutan memiliki predikat ‘panutan’ yang identik dengan pemuka agama masing-masing. Karena di belakang mereka berduyun-duyun ribuan umatnya yang butuh tuntunan.
Kiranya yang patut diambil hikmahnya dari kedua berita itu, baik bagi umat Katholik dan Islam, maupun penganut agama lainnya, berhati-hatilah di dalam menjadikan seseorang untuk menjadi panutan, atau pemuka agama masing-masing. Jangan hanya karena popularitasnyasetelah menjadi juara dalam kontes saja misalnya. Jangan hanya karena khotbah atau dakwahnya begitu menarik, karena diselingi dagelan dan sebagainya, tapi sebagaimana dikatakan Imam Masjid Istiqlal, KH Ali Musthafa Ya’kub, jangan melihat seorang Da’i dari popularitasnya, tapi harus dari ilmunya.
Bahkan seorang tokoh agama sekaliber Salahuddin Wahid, yang biasa dipanggil Gus Solah – adik kandungnya Gus Dur, dengan geramnya meminta Hariri untuk tidak muncul lagi dengan predikat Ustaz-nya itu.
Bagaimana pun radikalisme, perbuatan anarki, dan apalagi pembunuhan tanpa alasan tertentu sama sekali tidak dibenarkan oleh oleh agama mana pun di dunia ini. Apagi kalau yang melakukannya orang yang dianggap sebagai pemuka agama.
Pisss... ah. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H