SEBAGAI bangsa Indonesia yang memang selalu prihatin, kita patut prihatin juga dengan nasib Presidennya. Kemana-mana beliau ternyata selalu mengendarai mobil butut. Sehingga dampaknya pun selalu pula mengalami keterlambatan. Dan yang namanya datang melewati waktu yang ditentukan, maupun diharapkan, akan mengundang keprihatinan, tentu saja. Kasihan sekali.”
Tiba-tiba Si Akang membuka pembicaraan pagi ini dengan topik rasa keprihatinan terhadap Presiden. Padahal setahuku mana pernah SBY mengendarai mobil butut. Malahan dengar-dengar kendaraan beliau konon menggunakan bahan antipeluru. Artinya harganya pun berbeda dengan kendaraan biasa.
“Maksudku bukan dalam arti yang sebenarnya, Jang!” kata Si Akang dengan mata mendelik. “Ngakunya saja sudah melek politik, bahasa seperti itu saja tidak bisa menterjemahkannya! Pantesan tidak maju-maju...”
“Yayaya... Saya ngaku, Kang. Dalam hal ini memang saya termasuk orang yang telat mikir. Mungkin karena sejak kecil sampai sekarang asupan gizi ke otakku termasuk minim!”
“Begini, Jang. Tadi pagi sebelum ke sini aku baca berita Penekenan PP tentang Penyidik KPK oleh Presiden (Baca di sini). Menurutku peraturan pemerintah itu bisa disebut terlambat datangnya. Setelah heboh terjadi konflik antara Polri dengan KPK, baru Presiden bikin aturan. Atau apakah memang demikian, SBY selalu menunggu reaksi – bahkan kritikan pedas – dahulu, daripada mengantisipasi terjadinya cemoohan di kemudian hari – sebagaimana biasanya?
Sehingga muncul pula pertanyaan, apakah hal itu disebabkan pembantu-pembantu SBY yang tak ubahnya mobil butut, atau kekeliruan beliau sendiri dalam memilih kendaraan yang jalannya seperti keong. Atau malah jangan-jangan disengaja oleh pembantunya sendiri, untuk meruntuhkan citra yang selama ini dijunjung tinggi Presiden ini? Bingung aku memikirkannya.
Dalam masalah pengaturan penyidik KPK, aku lebih setuju untuk tidak mengambil dari institusi lain. Daripada terus menerus banyak rongrongan seperti kemarin yang disebabkan kasus simulator SIM itu, sebaiknya KPK merekrut penyidik independen saja. Bukankah di Indonesia ini banyak yang telah memiliki ilmu untuk itu. Daripada banyak sarjana nganggur, mengapa tidak merekrut mereka saja. Untuk lebih profesional, bisa diselenggarakan diklat bagi mereka yang direkrut.
Coba bayangkan, para penyidik KPK yang berasal dari Polri, sebagian besar ditarik oleh induk institusinya. Tidak menutup kemungkinan, mereka didoktrin – malah bisa jadi mendapat ancaman agar dalam melakukan penyidikan jangan terlalu ‘keras’ kalau menyangkut tersangka dari Polri.
Oleh karena itu sebaiknya presiden sesekali mendengar saran dan masukan rakyatnya (Baca di sini). Karena aku yakin rakyat Indonesia masih mencintai negaranya. Dan mau melihat negaranya aman-tentram kerta raharja. Seperti dalam cerita pewayangan itu. Begitu ‘kan?”
Aku diam. Jangan-jangan seluruh bangsa Indonesia pun sedang mengendarai mobil butut memang...***
- Serial Obrolan di Warung Kopi
Gegerbeas, 11/12/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H