AKUMULASI dari rasa kesal warga kampung itu langsung membeludak bak air bah, ketika suatu hari perempuan itu mengalami kecelakaan. Saat berboncengan dengan lelaki yang selama ini menjadikan dirinya sebagai gundik, di jalan menurun dan menikung tajam tiba-tiba sepeda motornya bertabrakan dengan sepeda motor yang muncul berlawanan arah. Kaki perempuan itu patah. Juga mengalami banyak luka di sekitar wajah. Dan warga pun langsung mengucap syukur Alhamdulillah. Bersyukur kepada Tuhan. Karena perempuan yang dianggapnya telah menodai kampung mereka, mendapat ganjaran yang setimpal dari yang mahakuasa.
Betapa tidak. Perempuan itu tidak muda lagi. Dia sudah dipanggil nenek oleh empat orang cucunya. Akan tetapi di mata warga, tampaknya perempuan itu seperti tidak henti-hentinya berbuat aib. Selagi masih punya suami, baik suami yang pertama maupun yang kedua – dia telah dua kali kawin, selalu bersikap tidak semestinya sebagai seorang istri. Seolah suaminya itu dianggap sebagai pelengkap penderita saja. Masa di depan suaminya sendiri masih juga melayani hasrat berahi lelaki lain. Perempuan macam apa itu? Ahirnya suaminya pun merasa tidak tahan diperlakukan seperti demikian. Dua orang suaminya, dalam waktu yang berbeda, menyerah kalah dengan menceraikannya langsung talak tiga sekaligus.
Setelah menjanda, kelakuan perempuan itu ternyata semakin menjadi-jadi. Belakangan ini dia malah dijadikan gundik oleh seorang lelaki sebayanya, yang pekerjaan sehari-harinya sebagai calo di terminal bus. Padahal konon lelaki itu pun sudah punya tiga orang istri. Selain sebagai piaraannya, perempuan itu pun juga dijualnya kepada para lelaki hidung belang.
Memang setelah itu kehidupan perempuan itu tampak ada perubahan. Perabotan rumahnya semakin lengkap. Televisi 14 inci sudah lama diganti dengan yang 32 inci jenis LCD. Kursi reyot murahan telah dibuangnya ke tempat sampah, dan diganti dengan sofa yang rada mewah. Pokoknya tak sedikit tetangga sekitar yang matanya kelilipan melihat perubahan di rumah perempuan itu.
Hanya saja para tetangga pun segera sadar, dan mereka langsung mengucap Istighfar. Karena mereka tahu, perabotan di rumah tetangganya yang satu itu didapat dari hasil menjual diri. Lalu sumpah serapah dan caci-maki dari mulut merekapun muncrat tanpa sadar, ditujukan kepada perempuan itu sebagai orang yang tidak tahu diri.
Bahkan sebetulnya di antara tetangga dekat, dan pemuka masyarakat sudah ada yang langsung mengingatkannya. Supaya jangan berbuat maksiat di lingkungan kampungnya. Tapi boro-boro dituruti. Malah justru semakin menjadi-jadi. Apalagi lelaki yang menjadikannya sebagai gundik, kepada orang-orang yang datang menasihatinya malah balik menasihati.
“Jadi orang jangan sok usil. Urus saja diri sendiri,” begitu katanya. “Kalau memang kami tidak boleh berbuat maksiat, apa kalian bisa membantu perempuan ini bangkit dari kemiskinan?”
Maka orang-orang di kampung itu jadi tidak berdaya dibuatnya. Mereka pun memang kehidupannya tidak jauh berbeda dengan perempuan itu. Hidup di bawah garis kemiskinan. Hanya warga itu mengaku, kalau mereka masih dapat membedakan baik dan benar. Itu saja.”
Tampak Si Akang terengah-engah setelah bercerita panjang-lebar tentang temuannya itu.
“Lha, apa dibenarkan juga orang tertimpa musibah malah disyukuri, Kang ?”
Si Akang menatapku. Lalu kepalanya menggeleng lemah.
“Entahlah...” katanya. ***
- Serial Obrolan di Warung Kopi
Gegerbeas, 04/12/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H