SUARA jerit tangis telah membuatku terbangun dari tidur. Sambil mengucek-ngucek mata, aku tahu bahwa yang menangis menjerit-jerit itu adalah istri dan kedua anakku. Dan tidak hanya mereka bertiga saja yang ada di dalam kamarku itu. Beberapa orang sanak-keluarga dan para tetangga sekitar pun tampak memenuhi kamar tidur yang hanya berukuran lima kali empat meter itu, dengan wajah yang murung dan gundah-gulana.
Tapi siapa yang terbujur kaku, dan terbungkus kain batik milik istriku itu ? Sementara istri dan kedua anakku meronta-ronta, sepertinya ingin memeluk tubuh yang terbujur kaku itu. Hanya saja beberapa orang tetangga dan sanak-saudara kami memeluk ketiganya dengan kuat. Aneh. Istri dan kedua anakku, disela jerit tangisnya memanggil-manggil namaku dengan suara yang memilukan hati.
Mereka yang memeluk istri dan kedua anakku kudengar meminta ketiganya untuk sabar dan tabah, juga mengikhlaskan kepergianku. Aku? Hah, jadi yang terbujur kakau itu adalah tubuhku sendiri. Aneh. Padahal aku ada di sini. Di dekat mereka bertiga. Di dekat semua sanak saudara dan para tetangga. Di dalam kamar ini.
Mataku kembali memperhatikan tubuh yang terbujur kaku dan terbungkus kain batik milik istriku itu. Kemudian kutatap wajah-wajah mereka satu persatu. Semuanya kukenal baik. Mereka orang-orang yang selalu dekat denganku. Tapi ketika mataku melirik ke sampingku, aku melihat seseorang yang asing, dan belum pernah bertemu sebelumnya. Aku sama sekali tidak mengenalnya.
Orang asing itu berpakaian jubah putih bersih yang membungkus tubuhnya yang tinggi besar. Sementara wajahnya tampak dingin dan tanpa ekspresi sedikit pun. Rupanya dia tahu kalau aku sedang memperhatikannya. Dia balik menatapku, dengan sorot matanya yang tajam. Sehingga membuat bulu kudukku meremang tidak karuan.
“Ya, saat ini sudah tiba saatnya kamu kembali ke asalmu. Akulah yang menjemputmu, sementara jasadmu yang terbujur kaku itu biarlah diurus oleh kaummu. Aku hanya akan membawa nyawamu saja. Tapi aku belum dapat segera membawamu. Kamu masih memiliki sangkut-paut dengan sesamamu ketika masih hidup...” kata orang itu dengan suara yang terdengar menggelegar di telingaku.
Ya, Tuhan! Benarkah apa yang dikatakan orang itu, bahwa aku memang benar-benar telah menemui ajalku? Kucubit tubuhku, tapi aneh sama sekali tidak terasa sakit. Sementara suara tangisan istri dan kedua anakku semakin meraung-raung, memenuhi kamar tidur kami.
Seseorang masuk ke dalam kamar seraya mengucap salam. Dari suaranya aku begitu mengenalnya siapa dia. Ustad Solihin tampak tergopoh-gopoh menghampiri tubuh yang terbujur kaku dan terbungkus kain batik istriku itu. orang-orang memberi jalan kepada ustad Solihin.
“Inna lillahi wa ina ilaihi raji’uun...” kata Ustad ketika telah berada di dekat tubuh yang terbujur itu. Kemudian dengan bertopang kedua lututnya, seperti hendak bersujud, dan sambil mulutnya komat-kamit dia membuka kain batik tepat di arah wajah tubuh itu.
Jadi memang benar, tubuh itu adalah tubuhku sendiri. Dan aku benar telah mati, seperti yang dikatakan orang asing tadi. Kembali aku melirik ke sampingku. Apakah orang asing ini yang diaebut malaikat pencabut nyawa ? Malaikat Ijrail.
Tubuhku bergidik. Aku ingin kembali ke dalam jasadku yang terbujur kaku itu. Tapi sang malaikat dengan sigap mencengkeramku. Sehingga membuatku tak mampu berbuat apa-apa lagi. Dan tak berdaya sama sekali.
Telingaku mendengar ustad Solihin bertanya kepada istriku, “Apa almarhum memiliki utang kepada orang lain sewaktu masih hidup?”
Dan aku tersadar. Pantas saja malaikat pencabut nyawa itu tidak segera membawaku pergi dari kamarku ini. Sungguh. Aku memang memiliki banyak utang. Dan keluargaku sama sekali tidak mengetahuinya. Karena uang yang kupinjam dari teman maupun dari bank, kugunakan untuk berfoya-foya dengan perempuan-perempuan selingkuhanku... ***
Gegerbeas, 15/11/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H