KEJADIAN seperti ini mungkin saja pernah dialami banyak orang. Hususnya di lingkungan komunitas saya, urang Sunda. Di antara saudara kita, baik saudara kandung, maupun saudara misan atau sepupu, meminjam uang kepada kita. Kemudian saudara kita itu ingkar janji. Tidak segera mengembalikan pinjamannya, sebagaimana dijanjikannya saat berutang.
Apalagi dalam waktu yang sama kita sendiri sedang membutuhkannya. Saat ditanyakan, saudara kita itu dengan entengnya hanya bilang belum bisa bayar. Belum ada uang. Maka sudah tentu kita pun akan merasa kecewa. Tidak seperti sedang mau meminjamnya. Ungkapan semanis gula pun meluncur dari mulutnya. Bahkan berjanji akan segera melunasinya. Eh, tiba giliran ditagih, malah begitu caranya.
Memang sih dengan saudara kita harus saling menolong. Namanya juga saudara. Bila salah seorang saudara kita tengah dalam kesulitan, kita perlu untuk membantunya. Dengan siapa lagi kalau bukan dengan saudara. Karena terkadang jika orang lain melihat saudara kita sedang dalam kesulitan, belum tentu mau menolongnya. Paling-paling hanya sebatas berucap kasihan saja. Bahkan jika orang itu mempunyai hati yang busuk terhadap keluarga kita, maka dia hanya akan mentertawakannya.
Melihat atau mendengar hal serupa,  harga diri kitapun sudah tentu akan terusik. Maka  demi menjaga nama baik keluarga kita, kita pun dengan sekuat tenaga membantu kesulitan saudara kita. Dengan meminjamkan uang kita misalnya.
Sementara saudara yang kita tolong itu justru malah mengabaikannya. Sekalipun kita tahu dia telah memiliki uang lebih. Sehingga ahirnya persaudaraan pun menjadi renggang. Meskipun suatu saat utang itu dikembalikan, kita pun akan kehilangan kepercayaan lagi kepada saudara yang seperti ini.
Malahan beberapa waktu lalu saya pernah mendengar, bahwa saat ini sedang terjadi fenomena: Dulur jadi batur, batur jadi dulur. Ungkapan bahasa Sunda yang saya lupa lagi siapa yang mengatakannya itu, kalau dialih bahasakan ke dalam bahasa Indonesia artinya: Saudara menjadi orang lain, sedangkan orang lain menjadi saudara.
Mungkin saja hal itu terjadi gara-gara pinjam-meminjam uang yang sulit diselesaikan. Atau bisa jadi ada hal lain, karena bagi-bagi warisan yang dianggap tidak adil misalnya.
Padahal ada peribahasa Sunda yang berbunyi: Buruk-buruk papan jati. Secara harafiah berarti: Sekeropos-keroposnya papan yang terbuat dari kayu jati sudah tentu berbeda dengan kayu jenis lain. Dan peribahasa itu kalau diterjemahkan secara bebas, maksudnya adalah seburuk-buruknya hubungan persaudaraan, akan berbeda dengan tali ikatan hubungan antar-individu yang lain.
Oleh karena itu, untuk menjaga keharmonisan hubungan kekeluargaan, kita sekali-kali tidak boleh memandang enteng hal yang satu ini. Jangan mentang-mentang saudara. Urusan utang tetap harus dibayar tepat waktu, sebagaimana yang dijanjikan***
Gegerbeas, 19/11/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H