POKOKNYA kejadian ini hanya kita berdua saja yang tahu. Malahan kalau bisa, anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa. Dan lupakanlah semuanya. Aku yakin, kamu pasti bisa melakukannya. Kalau kamu butuh apa-apa, segeralah hubungi aku. Oke?”
Begitu bunyi SMS yang baru saja kuterima dari seorang pejabat eselon 2 suatu instansi, yang kemarin malam tanpa kusengaja, kupergoki masuk sebuah kamar hotel dengan seorang perempuan muda yang jelas-jelas bukan istrinya.
Awal mula kejadian itu, kemarin malam aku memenuhi undangan sebuah grup band anyar yang meluncurkan album perdananya di hotel itu. Selesai mengikuti acara, buru-buru aku menuju ke tempat parkir. Karena malam hampir larut. Ketia sedang menyusuri koridor hotel yang menuju ke tempat parkir, tanpa kusengaja aku berpapasan dengan pejabat itu yang sedang bergandengan dengan mesranya bersama seorang perempuan.
Ya, meskipun malam itu dia tidak berpakaian dinas, dan menutup matanya dengan kaca mata hitam, ditambah dengan cahaya lampu di koridor itu agak remang-remang, tapi mataku masih normal. Apalagi pejabat itu pun begitu kami berpapasan tampak jelas tersentak kaget saat melihatku.
Pejabat itu memang tahu siapa aku. Karena beberapa kali aku bertemu untuk melakukan wawancara dengannya. Dan aku menyaksikan suatu pemandangan yang lain dari biasanya malam itu. Pejabat itu tampak sekali gugup. Dan saat kutegur, jawabannya begitu tergagap-gagap.
Padahal sewaktu aku melakukan wawancara, dia begitu tampak berwibawa. Dalam pembicaraannya seringkali menyelipkan ayat-ayat suci. Malahan pernah sekali waktu dia mengungkapkan, bahwa berkat dorongan istri tercintanya dirinya dapat mencapai jenjang karir seperti sekarang ini tersebut.
Memang naluri “tukang wartawan” di hatiku mengatakan, insiden di koridor hotel itu akan menjadi berita yang bakal menghebohkan. Seorang pejabat eselon 2 berselingkuh dengan perempuan muda di sebuah hotel !
Jelas sekali. Kulihat sikapnya seperti seekor kucing yang kepergok hendak mencuri ikan. Dan tak lama kemudian dia menggamit tanganku. Dibawanya aku menjauh dari perempuan itu.
“Tolong ya jangan dibuat berita... “ bisiknya di telingaku. Dan aku tersenyum mendengarnya.
Kemudian dia merogoh kantong celananya. Sebuah dompet tebal dibukanya di depan mataku. Dan tanpa menghitungnya lagi dia mengambil beberapa lembar uang ratusan ribu, serta langsung disodorkannya padaku.
“Ambillah. Untuk bensin, atau untuk apa saja!”
Sontak aku menolaknya. Sungguh. Bukannya aku tidak butuh dengan uang sebanyak itu. Tapi pejabat itu memberiku uang karena ada maunya. Meminta supaya aku tidak menulis tentang dirinya.
“Terima kasih, Pak. Tapi terus terang saja, saya menolak pemberian Bapak itu...”
“Wah jangan begitu, Dik. Saya ikhlas memberikannya...”
“Sudahlah, Pak. Sekali lagi saya ucapkan terima kasih. Simpan saja lagi uangnya, Pak. Nanti malahan saya disangka sedang memeras Bapak lagi!” kataku agak keras.
Dan di saat itu seseorang menghampiri ke arah kami. Tampaknya tamu hotel ini juga. Maka pejabat itu pun buru-buru memasukkan lagi dompetnya ke kantong celananya. Dalam keadaan itulah, aku buru-buru pamitan kepadanya. Tanpa menunggu jawabannya, aku langsung meninggalkan dia.
Baru saja aku keluar dari kamar mandi, ponselku yang ditaruh di meja kamar kerja berdering. Sebuah pesan singkat kuterima dari pejabat itu pagi ini. Rencananya hari ini akan melakukan investigasi lebih dalam untuk bahan tulisanku. Tentang pejabat itu. ***
Gegerbeas, 14/11/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H