[caption id="attachment_219783" align="aligncenter" width="496" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption]
NEGERI yang penuh ironi, juga penuh kontradiksi...” gumam Si Akang seraya meletakkan gelas kopi yang tadi dicicipinya. Aku menatap matanya penuh keheranan.
“Maksud Akang ?”
“Lihat saja di koran dan televisi. Begitu gegap-gempitanya di Jakarta memberantas korupsi, sementara di daerah, sampai pelosok desa, mereka sedang mulai mengembangkan pembelajaran untuk melakukan korupsi,” ungkapnya ketus.
“Mereka siapa ?” aku penasaran dibuatnya.
“Siapa lagi kalau mereka yang memiliki wewenang untuk membuka keran kas negara. Di desa kita saja, kalau kepala desa ingin mendapatkan bantuan program pembangunan mesti pandai-pandai melobi kepala dinas terkait, anggota dewan, atau Bupati. Sewaktu mengajukan permohonan untuk rehabilitasi kantor desa kepada salah seorang anggota dewan saja, asal siap dipotong 30 persen dari bantuan yang diberikanolehnya, maka permohonan akan diluluskan. Nah, potongan itu buat siapa lagi kalau bukan untuk masuk ke kantong pribadi yang bersangkutan dan partainya. Karena dalam laporan pertanggungjawabantidak dicantumkan potongan yang tiga puluh persen itu,” ungkap Si Akang berapi-api.
Apa yang tadi dikatakannya aku tak sedikitpun meragukannya. Selain sebagai salah seorang anggota BPD (Badan Permusyawaratan Desa), Si Akang ini termasuk manusia langka juga di desa kami karena kejujuran dan kelugasannya tak ada tandingnya.
“Tidak hanya di birokrasi saja hal itu terjadi. Seorang kepala SD yang ingin mendapatkan bantuan DAK (Dana Alokasi Khusus) untuk merehab ruang kelas saja demikian juga. Kalau dia tidak pandai-pandai mendekati kepala UPTD, ataukepala bidang di dinas instansi terkait, jangan harap ruang kelas tempat belajar anak-anak bisa diperbaiki. Sementara untuk mendekati para pejabat tersebut, tidak hanya bertamu begitu saja. Paling tidak amplop gede berisi lembaran rupiah yang nilainya cukup untuk uang muka sebuah sepeda motor baru dari leasing,mesti diberikannya. Sedangkan uang yang diserahkan Sang kepala sekolah itu mustahil uang pribadinya, sudah tentu mengambil dana BOS (Biaya Operasional Sekolah). Dengan harapan kalau bantuan DAKcair, akan diganti dengan memotong dari itu. Apa itu bukan korupsi namanya?”
Aku cuma mengangguk-anggukkan kepala saja. Karena apa yang dikatakan Si Akang memang benar adanya.
“Hanya saja sayang, Kang...” Aku buka suara.
“Sayang bagaimana?”
“Walaupun di Jakarta katanya gencar diberantas, tokh korupsipun tetap saja jalan terus. Malah konon kabarnya modusnya justru lebih canggih lagi. Seperti belum lama ini ada juga yang namanya korupsi berjamaah.Dilakukan beramai-ramai. Sehingga akan saling menutupi...”
"Walhasil, jangan harap korupsi bisa diberantas kalau begini caranya. Apalagi dengar-dengar di Jakarta lembaga audit BPK pun sepertinya kena telikung juga..." ***
Gegerbeas, 24/10/2012
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H