UNTUK menyatakan sebuah kebenaran, seorang penulis harus berhadapan dengan tirani kekuasaan. Dan tampaknya itu telah menjadi suatu suratan. Kita tentu masih ingat, bagaimana seorang Socrates dituntut untuk meminum secawan racun. Lalu di Rusia seorang Boris Leonidovich Pasternak dikucilkan. Demikian juga beberapa penulis di negeri ini, seperti Mochtar Lubis dipenjara oleh tirani Orde Lama. Pramudya Ananta Toer yang lama dibuang di Pulau Buru, terlepas dari faham komunisme yang dituduhkan sebagai musuh besar bangsa Indonesia. Demikian juga WS Rendra beberapa kali mengalami pencekalan atas pementasan beberapa dramanya.
Hal itu terjadi, karena pada hakikatnya mereka mempertahankan kebenaran yang disuarakannya, melalui tulisan, tentu saja. Terlepas dari bentuk tulisan yang mereka publikasikan. Baik dalam bentuk prosa, puisi, naskah drama, termasuk juga artikel guyonan ringan.
Hanya saja tulisan-tulisan mereka, sudah tentu begitu menohok ulu hati para tiran yang sedang berkuasa. Sedangkan yang namanya penguasa, dimana pun memiliki banyak anjing herder-nya yang siap menggonggong, menyalak, dan menggigit siapapun yang mengusik tuannya.
Kebenaran yang disuarakan penulis, sudah pasti akan bertentangan dengan kebenaran para penguasa. Karena kebenaran penulis adalah suara nurani semesta. Suara rakyat yang hidupnya sengsara. Sedangkan kebenaran para tiran adalah kebenaran nafsu syahwat, yang ditunggangi iblis durjana laknat.
Baru-baru ini tersiar kabar, Ali Azhar Akbar penulis buku Lumpur Lapindo File: “Konspirasi SBY-Bakrie” telah seminggu ini hilang tak tentu rimbanya. Meskipun belum jelas, karena pihak Pengacara yang bersangkutan belum melaporkannya kepada aparat kepolisian, tapi paling tidak hal ini merupakan sebuah sinyal, seorang penulis sejati dituntut untuk lebih keras lagi menyuarakan kebenaran itu melalui tulisannya. Paling tidak rekan Ali Azhar Akbar bisa jelas bagaimana kabar berita selanjutnya.
Bagi para penulis, yang mengaku sebagai corong suara semesta, dan suara rakyat yang tertindas, lenyapnya Ali Azhar Akbar sudah tentu akan membangkitkan gairah untuk menulis tentang segala macam keserakahan duniawi para tiran di negeri ini. Meski taruhannya nyawa sekalipun.
Hayo, wani piro?
Cigupit, 2012/06/26
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H