Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Setangkai Edelweis Untuk Ratih

9 Juni 2012   13:19 Diperbarui: 25 Juni 2015   04:11 216
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

TAK ada matahari pagi ini. Padahal semestinya  di saat sekarang ini dari balik gunung di sebelah timur itu sudah muncul walau dengan sedikit malu-malu, dan perlahan menebarkan sinarnya mengusir embun dan kabut yang dingin ini. Tapi awan tebal yang hitam tampaknya masih enggan beranjak dari tempatnya. Dan angin sejak subuh tadi sepertinya masih juga belum hadir berdesir. Sehingga Jaka pun sepertinya enggan beranjak jauh dari perapian yang dibuatnya sejak tadi malam.

Sesekali Jaka meniup bara yang tampaknya sudah malas menyala. Meskipun berulangkali dia menambahkan ranting-ranting kering di atasnya. Karena di sekitarnya masih berselimut tebalnya kabut. Seperti juga hatinya yang  masih berbalut kemelut. Karena sejak kemarin siang Jaka mengadukan permasalahannya kepada angin yang berdesir, kepada awan yang berarak, kepada dedaunan , dan kepada rerumputan di puncak gunung itu, sampai pagi ini tak juga memberi jawab. Semuanya masih juga tetap diam membisu. Ataukah mungkin alam pun ikut terpana dengan perasaan Jaka yang terbelah dua?

Mungkin juga. Angin, awan, pepohonan, dedaunan, rerumputan, dan seluruh penghuni puncak gunung tak menyangka kalau Jaka yang dikenalnya selama ini, tiba-tiba mengatakan telah jatuh cinta kepada seorang wanita. Padahal semua yang ada di sekitarnya sekarang ini, sudah merasa betapa kecintaan Jaka sedemikian besarnya kepada mereka. Tak berlebihan memang. Sebagai sahabat, Jaka memperlakukan alam di sekitarnya dengan penuh kasih- sayang.

Namun Jaka tak yakin. Alam tidak pernah memiliki perasaan iri, dengki, cemburu, atau dendam seperti manusia. Alam senantiasa menebarkan cinta dan kasih sayang. Kalau pun sekali waktu alam memuntahkan amarah, dan membuat manusia di sekitarnya tertimpa musibah, itu karena manusia sendiri yang berulah. Menantang alam supaya marah.  Alam selalu mengikuti perlakuan manusia terhadapnya. Jika manusia memperlakukan alam dengan penuh kasih sayang, maka alam akan membalasnya dengan kasih sayang juga. Begitu juga sebaliknya. Sementara manusia  terkadang tidak sama seperti alam. Bila seseorang yang memperlakukan sesamanya dengan penuh kasih sayang, belum tentu orang itu membalasnya dengan cara yang sama. Malahan tak jarang,  kasih sayang yang tulus  itu justru dibalas dengan membencinya.

Aneh memang. Sebagaimana perasaan Jaka kepada Ratih, sahabatnya itu, betapa tulus kasih sayang Jaka kepadanya. Malahan diam-diam Jaka telah mencintai Ratih sebagai seorang kekasih. Dan perasaan itu juga yang telah mengganggunya. Membuat Jaka gundah-gulana. Jaka takut  Ratih menuduhnya telah menodai persahabatannya itu. Siapa tahu Ratih tidak memiliki perasaan yang sama dengan dirinya. Apalagi cinta kasih kepada sesama selalu banyak pertimbangannya. Terutama keadaan orangnya. Sebagaimana keadaan Jaka yang merasa berbeda jauh dengan keadaan Ratih. Meskipun selama ini Ratih tidak mempersoalkannya, tapi belum tentu kalau Jaka bicara lain dari biasanya. Bicara masalah perasaannya saat ini.

Ratih seorang perempuan mapan dalam kehidupannya. Baik pendidikan maupun penghasilannya sebagai pengusaha. Sementara Jaka, pernah sekali waktu disebut sebagai “Kere” oleh Ratih. Sekalipun saat itu Ratih hanya bercanda, tapi memang sesungguhnya demikian keadaan Jaka.

Ketika mentari muncul dari balik rerimbunan daun, Jaka bangkit dari duduknya.  Sampai kapanpun Jaka tak akan mengungkapkan perasaannya kepada siapapun. Juga kepada Ratih sekalipun. Sebab cinta yang tulus tidak mesti berbalas. Dan tidak seharusnya dikubur, atau dibuang jauh-jauh.

Dengan tertib, Jaka merapikan segala barang yang digunakannya. Tenda dan sleeping bag.  Yang disatukan dengan tas ranselnya. Juga mematikan api unggun yang sejak malam menghangatkan tubuhnya. Setelah segalanya rapi, Jaka pun siap kembali pulang. Ratih akan tetap menjadi sahabatnya. Juga kekasih hatinya. Seperti juga cinta kasihnya kepada alam selama ini.

Saat Jaka turun dari puncak gunung, di semak-semak matanya melihat bunga edelweis yang mulai mekar. Lalu diapun memetiknya setangkai, untuk diberikan kepada Ratih sahabatnya… ***

Cigupit, 2012/06/09

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun