HARI ini, pagi-pagi sekali seorang anggota Tim Penggerak PKK sudah sibuk berdandan di depan meja rias. Dengan mengandalkan tukang rias pengantin langganan. Sementara suaminya tampak duduk termangu-mangu di ruang tamu. Tidak ada segelas kopi dan goreng pisang yang biasanya terhidang di atas meja. Istrinya sedang terburu-buru dikejar waktu. Hari ini adalah hari besar bagi kaum wanita. Ada acara peringatan Hari Kartini di aula kecamatan. Jadi untuk hari ini suaminya mesti bikin kopi sendiri, melayani diri sendiri. Apalagi hari ini suaminya tidak masuk kantor. Kalau istrinya sudah berdandan, suami harus segera siap mengantar.
Dengan menggunakan sepeda motor dinasnya, sang istri dibonceng di belakang. Di pangkuannya penuh dengan beberapa wadah berisi segala macam jenis makanan. Yang kemarin sore dibelinya di toko swalayan. Dan untuk dipamerkan dalam acara yang diselenggarakan sekarang. Kepada orang-orang semua jenis makanan itu sudah tentu diklaimnya sebagai hasil karya sendiri.
Selain pameran berbagai jenis makanan, acara lain yang tak kalah pentingnya – sebagaimana biasanya, adalah peragaan busana tradisional. Dan itu sudah menjadi suatu keharusan, bahwa peringatan hari Kartini harus diisi dengan dua kegiatan itu. Pameran makanan dan peragaan busana tradisional.
Sedangkan sang suami, usai mengantarkan istrinya ke aula kecamatan, karena tidak diundang dan juga belum mandi, maka buru-buru diapun kembali. Setibanya di rumah, dia menjatuhkan tubuhnya di atas kursi di ruang tamu. Kembali duduk termangu seperti tadi.
“Aneh, Hari Kartini pakai kebaya dan baju adat. Bukankah perjuangan Kartini sebenarnya pemberontakan terhadap adat dan tradisi. Ini malah diisi dengan lomba kebaya dan lomba masak. Seandainya Kartini masih hidup, dia akan menangis. Perjuangannya tidak dipahami oleh mereka...”
“Aku juga jadi tidak terlalu yakin, kalau kesetaraan di tanah air karena perjuangan Kartini. Toh kartini juga tidak bisa bebas dari belenggu tradisi. Dan iatidak membuahkan karya nyata seperti sekolah, sebagaimana yang dilakukan Dewi Sartika, misalnya. Ironisnya lagi, dia juga dari kalangan yang secara tidak langsung karena dekat dengan kekuasaan Belanda…”
Demikian suami anggota TP PKK itu berbicara tiada henti di dalam hatinya.
Saat ponsel di dekatnya berbunyi, diapun tersadar. Hari sudah menjelang siang. Istrinya minta segera dijemput. Karena acara peringatan Hari Kartini telah selesai dilaksanakan. Maka sang suami pun bergegas berangkat menuju aula kecamatan. Padahal dia belum mandi, dan belum minum kopi.
“Bagaimana acaranya, Bu?" tanya dia kepada istrinya saat sudah berada di tengah perjalanan.
“Sukses, Pak. Aku juara harapan satu untuk peragaan busana, dan juara tiga untuk lomba makanan,” sahut istrinya dengan bangga.
Sementara suaminya cuma mencibir kecil, tanpa diketahui istrinya…***
Cigupit, 2012/04/21
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H