Kisah lain ulah oknum polisi dan ‘wartawan’, dialami sepupu saya. Kejadiannya belum begitu lama. Sekitar sebulan lalu. Sengaja saya tulis di Kompasiana, supaya semua orang tahu. Satu lagi modus oknum polisi ‘nakal’ dalam menjerat korbannya demi mendapatkan uang.
Ketika itu saya didatangi saudara sepupu yang jarang bertemu. Selain berbeda kampung, karena kesibukan masing-masing jugalah yang membuat kami jarang dapat bersilaturahmi.
Setelah saling bertanya kabar keluarga, sepupu saya menceritakan peristiwa yang baru beberapa hari dialaminya. O iya, sepupu saya bersama suaminya punya kesibukan lain ternyata. Keduanya sekarang mengelola sebuah yayasan. Dan belum lama mendapat bantuan dari pemerintah untuk pengembangan usaha peternakan yang diharapkan dapat menunjang kegiatan yayasan.
Tak lama setelah bantuan turun, dan digunakan sesuai dengan peruntukannya, tiba-tiba ke rumahnya didatangi serombongan orang yang mengaku ‘wartawan’. Untuk meminta konfirmasi terkait pengadaan sapi yang kata mereka disinyalir telah ada mark up dalam pelaksanaannya. Tapi delapan orang yang mengaku wartawan itu dalam mengkonfirmasi bukannya lagi seperti wartawan yang biasanya sedang minta keterangan, suami-istri itu menangkap gelagat yang kurang sedap, karena para ‘wartawan itu terkesan seperti seorang penyidik di kepolisian.
Karena memang tidak merasa ada penggelembungan harga, tentu saja sepupu saya menyangkalnya. Dan keadaanpun jadi memanas. Di satu pihak terus-terusan para taamu itu menuduhnya, dan di pihak lain tuan rumah pun sudah tentu membantahnya.
Tiba-tiba di tengah riuhnya adu mulut, muncul seorang pembantu sepupu saya yang bekerja di peternakannya. Seorang pria 35-an tahun, dengan penampilan yang bikin ciut nyali ke delapan wartawan tadi. Akunya kemudian, semula dia mau menengahi perang mulut yang terjadi. Tapi karena dia muncul dengan membawa sebilah parang, karena, akunya lagi kemudian karena baru saja menyabit rumput, tentu saja tetamu itu pun pada undur diri. Ketakutan, bisa jadi.
Selang dua hari kemudian, sepupu saya mendapat surat panggilan dari mapolsek, yang ditandatangani kanit reskrim, karena mendapat pengaduan, bahwa sepupu saya telah mengancam akan membacok ‘wartawan’.
Di depan sang kanit, sepupu saya menjelaskan duduk perkaranya. Bahkan kemudian sepupu saya balik melaporkan, para ‘wartawan’ itu telah meminta uang ‘liputan’ sebesar Rp 400 ribu untuk orang delapan. Tapi sang kanit bukannya menanggapi laporan itu, dia justru menganjurkan sepupu saya untuk berdamai secara kekeluargaan dengan wartawan yang delapan orang itu.
“Bisa berbahaya, Pak. Reputasi Bapak bisa rusak kalau masalah ini dilanjutkan. Belum apa-apa, sudah tentu akan diberitakan di media mereka.
“Terus bagaimana caranya untuk berdamai dengan mereka?”
“Bapak datangi saja ke kantor redaksinya, dan langsung minta maaf atas kekhilafan Bapak.”
Mendengar itu tentu saja sepupu saya kaget. Dan tidak memahaminya. Makanya keduanya datang ke rumah saya. Untuk minta pendapat dan saran, katanya. “Kami harus bagaimana, Kang?”
Secara spontan saya jawab, “Kalian tidak usah mendatangi kantor redaksi, dan tidak usah minta maaf segala. Sudah diamkan saja! Kita lihat saja perkembangan selanjutnya.”
Betul, keduanya memahami saran saya. Setelah saya beri penjelasan secara panjang-lebar, tentu saja.
Selang satu minggu kemudian, sepupu saya bicara lewat telpon seluler. Tadi pagi, katanya, suami-isteri itu kembali dipanggil kanit reskrim. Di kantor polisi keduanya dipertemukan dengan pemred dan kedelapan wartawannya.
“Terus,” tukas saya sesaat dia berhenti bicara.
“Mereka minta uang seharga seekor sapi, dan kalau tidak kami diancam akan dipidanakan,” katanya tersendat.
“Lalu?”
“Saya pusing dibuatnya. Mereka dan kanit terus menyudutkan saya. Saya tidak tahan, ahirnya saya berikan uang pada mereka.”
“Berapa?”
“Dua juta lima ratus…”
“Wah?”
Dan saya cuma geleng-geleng kepala jadinya...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H