Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Apakah Jual-beli Perkara Memang Tugasnya Polisi dan Jaksa?

13 Maret 2014   02:17 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:00 61
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="544" caption="Ilustrasi/Admin (Wartakota/tribunnews.com)"][/caption]

Istri pemilik warung kopi langganan kami tampak mukanya sembab. Dengan terbata-bata dia menuturkan kronologi kejadian anak lelaki semata wayangnya yang hingga dua bulan ini meringkuk dalam sel tahanan. Sementara suaminya masih kelihatan untuk berusaha tegar, dan lebih banyak diam sembari melayani permintaan para pelanggan.

Beberapa hari setelah anaknya dibekuk dengan tuduhan menyimpan narkoba jenis ganja, dua orang polisi yang kemarin dulu menangkapnya datang ke rumah mereka. Dikatakan polisi tersebut, bahwa kasus yang menimpa anaknya itu bisa menjadi ringan kalau disediakan sejumlah uang. Sebab anaknya hanya jadi tersangka sebagai pengguna saja, bukan pengedar maupun bandar.

Suami-istri pemilik warung pun terperangah mendengarnya. Pasalnya sebagaimana pengakuan anaknya, selama ini tidak pernah mengisap barang haram tersebut. Selain itu, jumlah uang yang disebutkan polisi begitu besar. Menyediakan duit Rp 15 juta bagi ukuran penjual kopi, adalah sesuatu yang akan membuat seumur hidupnya terbelit kemiskinan.

Lagi pula seperti seringkali disaksikannya di televisi, dalam acara infotainment terkait kasus serupa yang menimpa selebriti, misalnya dengan yang terjadi pada Raffi Ahmad tempo hari, artis sinetron dan pembawa beberapa acara di layar kaca itu tidak dimasukkan ke sel tahanan, melainkan ke pusat rehabilitasi. Sedangkan anak kami, kata istri pemilik warung kopi itu, dijebloskan ke sel tahanan, dan dimintai uang sedemikian besar. Kenapa?

Tapi pertanyaan itu tidak diucapkannya di depan polisi sampai sekarang ini. Dengan berbagai cara, mereka berdua mencari pinjaman pada sanak keluarga dan tetangga. Apa boleh buat, suami-istri itu tak berharap anaknya meringkuk lama dalam sel tahanan. Apalagi membayangkan kalau sampai jadi penghuni penjara (Lapas). Sebutan sebagai mantan narapidana adalah aib besar di kampung kami. Karena menurut keterangan bapak polisi pun, uang itu akan dibagi-bagikan untuk pihaknya dan jaksa yang kelak akan menuntutnya.

Pertanyaan susulan pun muncul kembali dari mulut istri pemilik warung kopi langganan kami. Setelah uang diserahkan, kabar berita pembebasan anaknya tak juga didengar. Malahan beberapa minggu kemudian anaknya dikabarkan sudah jadi penghuni lapas, sebagai tahanan titipan kejaksaan. Dan saat suami-istri itu menjenguk anaknya, didengarnya permintaan jaksa dari penuturan anaknya, agar menyerahkan uang yang jumlahnya puluhan juta, supaya tuntutan di pengadilan nanti dapat semakin ringan. Apa uang yang dahulu diserahkan melalui polisi itu belum cukup, atau tidak diserahkan kepada jaksa – sebagaimana dikatakan polisi itu?

“Apakah jual-beli perkara memang tugasnya polisi dan jaksa?” tanya istri pemilik warung sembari menutup wajahnya.

Kami yang sedari tadi mendengarkan, sama sekali tidak dapat memberikan jawaban. Apalagi kami hanyalah sebagai orang kampung, yang awam masalah hukum.

Hanya saja seseorang, yang tanpa kami ketahui dengan jelas siapa orangnya, tiba-tiba saja nyeletuk.

“Makanya bagi kita-kita ini sebagai orang kampung yang susah hidupnya, jangan pernah coba-coba melanggar hukum. Salah satu contohnya ya seperti ini...  Sudah miskin, jadi sapi perahan jaksa dan polisi lagi.”

Lalu kami serempak berpaling ke arah suara itu. Ternyata Mang Entis, orang yang di kampung kami dikenal suka ceplas-ceplos bicaranya. Dan beberapa tahun lalu pernah juga berurusan dengan aparat ‘penegak hukum’, gara-gara rem colt bak yang dikendarainya blong, dan tabrakan dengan sepeda motor yang sedang melaju kencang di sebuah tikungan. Pengendara sepeda motor menderita luka parah. Dan Mang Entis dijebloskan ke dalam sel tahanan.

" Barangkali Teteh masih ingat siapa polisi yang minta duit itu?" tanya Jang Mansur, anak muda pengurus Karang Taruna.

"Salah satunya  yang di sini...," sahut istri pemilik warung kopi sambil ngeloyor pergi... ***

Teteh (bhs. Sunda) = panggilan untuk perempuan yg usianya lebih tua

* Serial Obrolan di Warung Kopi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun