Saban ditanya media terkait maju tidaknya di ajang pilpres mendatang, jawaban Guberbur DKI Jakarta, Joko Widodo – yang lebih populer dipanggil Jokowi, tidak jauh dari:
-“Ndak mikir...”
-“Tanyakan kepada ketua umum PDIP, Ibu Megawati...”
Bisa jadi makna di balik dari ungkapan Jokowi yang pertama: “Ndak mikir...” karena tugasnya sebagai Gubernur DKI Jakarta yang dituntut harus menyelesaikan permasalahan yang multikompleks – sebagaimana janjinya ketika kampanye pilgub lalu, yang sekarang beredar dalam video youtube. Sehingga dalam hal tersebut, di satu sisi komitmen seorang Jokowi sebagai pemimpin patut diacungi jempol.
Sementara di sisi lain Jokowi terkesan ‘jual mahal’, seakan-akan elektabilitasnya di berbagai survey yang selalu berada di posisi puncak dianggap belumlah lengkap, karena belum ada sinyal yang jelas dan kuat, sebagaimana jawaban yang kedua: “Tanyakan kepada ketua umum, Ibu Megawati...”
Penulis mencoba mencari tahu dari pernyataan itu. Sebagai seorang Wong Jowo yang masih berpegang teguh pada adat istiadat, dan tatakrama, Jokowi tampaknya begitu menaruh respect yang sangat tinggi, sangat menghargai dan menghormati sosok ketua umum PDIP, bak seorang anak terhadap ibu kandungnya sendiri.
Akan tetapi di sisi lain timbul juga kecurigaan, jangan-jangan sistem yang berlaku di tubuh PDIP segala sesuatu keputusan terletak di tangan ketua umum. Tidak hanya seorang kader semacam Jokowi saja yang memiliki sikap semacam itu, menunggu keputusan sang ketua umum, seorang Sabam Sirait – salah seorang pendiri PDIP, saat ditantang untuk menyampaikan aspirasi pendukung Jokowi for 2014, ternyata mati kutu – alasan klise seorang yang sudah uzur usianya, karena sakitlah.
Andaikan saja kenyataannya demikian, segala sesuatu tergantung ‘titah’ pucuk pimpinan, apalah artinya lagi kata ‘Demokrasi’ yang dilekatkan pada nama partai berlambang kepala banteng hitam bermocong putih itu ? Dan hal seperti itu mengingatkan kembali pada era Orde Baru yang pernah memunculkan idiom “Meminta petunjuk beliau...” yang biasa diungkapkan bawahan kepada petinggi saat itu. Malahan jangan-jangan eranya Majapahit yang berlaku di PDIP itu. Titah raja adalah hukum bagi seluruh rakyatnya.
Bisa jadi juga karena Mega sendiri memang masih memiliki ambisi untuk jadi Presiden di Republik ini - jabatan yang didudukinya dulu hanya sebentar saja. Masak kalah sama SBY – mantan ‘anak-buah’ sendiri yang sampai dua periode jadi pemimpin negeri ini.
Ah, untung saja pikiran itu tidak jauh berlanjut. Penulis tidak ingin berburuk sangka terhadap hal yang hanya mucul di permukaannya saja. Saya cenderung mengamini pernyataan Sukardi Rinakit. Bahwa Megawati tidak terbuai oleh survey. Sebaliknya beliau, sebagai yang berpengalaman, dan sudah banyak asam-garam dunia perpolitikan memang tidak ingin bersikap gegabah.
Dalam diamnya itu justru Bu Mega sedang mencermati agar kadernya yang mumpuni – Jokowi ini, bisa selamat, selamat sampai di tujuan bila waktunya tiba.
Semoga... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H