Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Beuh! Keranjingan Chatting, Istripun Diusir

25 September 2014   02:47 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:38 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa tahun lalu seorang tetangga, yang juga masih saudara jauh minta dibuatkan akun. Maka dengan senang hati akupun membuatkannya. Paling tidak akan semakin banyak orang di kampungku yang melek internet.  Bahkan tidak tanggung-tanggung, kubikinkan dia dua akun sekaligus. Untuk Yahoo dan Google.

Tapi setelahnya, diapun minta dibuatkan akun facebook lagi. Itu pun langsung pula kubikinkan. Karena aku tahu di rumahnya dia belum punya komputer, ataupun laptop. Dan kalau melalui ponsel, karena yang dimilikinya jenis biasa, alias bukan tipe smartphone, cukup lelet loading-nya.

Sebagai pegawai Kantor Desa, dengan jabatan salah satu Kaur (Kepala Urusan) pada Sekretariat Desa, ketika itu dia sudah berkeluarga. Malah sudah dikaruniai dua orang anak. Perempuan dan laki-laki yang keduanya masih kecil-kecil. Dan meskipun hidup berumah tangga secara pas-pasan, tapi tetangga saya ini ambisinya lumayan juga. Karena sewaktu diangkat sebagai pegawai Desa hanya mengandalkan ijasah Madrasah Aliyah, yang setara dengan SLTA, maka setelah bekerja hampir tiga tahun, diapun masuk kuliah denganmengambil kelas karyawan.

Oleh karena itu aku dengan tetangga yang satu ini, praktis jarang ketemu. Paling-paling kalau pas hari Minggu atau libur lainnya. itu pun tidak bisa berlama-lama. Karena masalah kesibukan masing-masing juga – mengurus keluarga, tentu saja.

Hanya saja belakangan aku mendengar cerita dari istri di rumah, bahwa tetangga yang satu ini sering terdengar cekcok dengan istrinya. Malahan ibunya pun yang selama ini tinggal satu rumah (Tetangga saya tersebut belum punya rumah sendiri, dan masih menempati rumah ibunya yang sudah menjanda) konon suka ikut-campur. Dan acapkali mengompori anaknya.

“Kasihan. Bukannya mendamaikan anak dan mantu yang bertengkar. Ini malahan suka ngompori lagi. Dengan mengadukan hal-hal yang sebetulnya tidak perlu,” komentar istriku setelah panjang-lebar menyampaikan informasi tersebut.

“Sekali-kali coba ajak ngobrol sama Bapak. Selain kita ini tetangga dekat, juga masih ada pertalian keluarga walau sudah agak jauh juga. Lagi pula dia itu ‘kan dulu sering kongkow-kongkow sama Bapak. Soalnya saya kasihan sama istri dan anak-anaknya.”

Empati yang ditunjukan istriku tidak berlebihan memang. Aku sendiri tahu persis kehidupan sehari-hari keluarga tetangga yang satu ini. Kalau anaknya minta jajan saja, seringkali malah dikurung dalam rumah. Mungkin karena untuk keperluan biaya kuliah saja lumayan besar pengeluarannya. Hanya untung saja kedua anaknya belum masuk sekolah. Dan kalau kebetulan kami – aku atau istriku, pas mengetahui anaknya dikurung dalam rumah, tak jarang kami memberi uang alakadarnya. Ya, sekedar untuk jajan anak-anak.

Kebetulan sekali ketika itu hari libur, dan hari masih pagi. Aku menyuruh Si bungsu untuk mengundang tetangga yang satu ini, untuk sekedar menikmati kopi panas, dan karena sudah cukup lama tidak ketemu.

Tak lama kemudian, tetangga tersebut muncul di ruang tamu. Usai bersalaman, disambung basa-basi sebagaimana laiknya dua orang kawan yang lama tidak ketemu. Tapi ada sesuatu yang berbeda dari biasanya dengan tetanggaku itu. Aku melihat penampilannya begitu segar, dan sepagi ini aku mencium bau farfum. Padahal biasanya tidak begitu. Aneh. Ada apa dengannya ?

“Aku mencium seperti ada orang yang lagi kasmaran di dekat sini,” kataku menyelidik sambil tertawa.

“Ya, memang gara-gara sering facebook-an, saya ini malah ketemu dengan seorang janda. Anak satu. Ngakunya baru punya anak satu. Tinggal di kota B. Malahan punya titel S1, dan anak seorang pensiunan kantor pajak lagi,” akunya dengan lugas, dan seperti bangga pula.

“Tapi cuma pacaran di dumay ‘kan ?”

“Justru itu, saya ke sini sekalian ngasih tahu. Setelah nanti bercerai dengan ibunya anak-anak, saaya akan menikahinya...”

“Lha, kumaha ieu teh (bagaimana ini). Sugan keur lieur maneh teh ( Apa kamu ini gila) ?” kataku spontan. Sungguh aku begitu terkejut bin kaget mendengarnya.

“Tidak. Saya memang seriuslah. Malahan dia berjanji kalau saya menikahinya ijasah S1 saya plus uang semesteran yang belum dibayar, mau dilunasinya. Bagaimanapun saya juga punya keinginan untuk merasakan hidup senang laiknya orang kaya. Sekarang kebetulan ketemu sama seorang janda anak pensiunan yang kaya-raya, mungkin sudah suratan saya mendapat kekayaan dengan cara harus berganti istri. Seperti katamu, kesempatan tokh jangan disia-siakan,” sahutnya.

“Tapi maksudku bukan untuk yang satu ini lho. Kasihan istrimu yang dengan sabar mendampingimu selama ini. begitu juga dengan anak-anak yang masih kecil. Apa kamu tega ?”

Tampaknya tekad tetangga yang satu ini sudah bulat. Beberapa bulan istrinya diantarkan kepada orang tuanya. Sementara anak-anaknya yang sulung (perempuan) tetap bersamanya, dan yang bungsu ikut ibunya. Dan tak lama kemudian betul juga dia jadi menikahi janda yang dikenalnya lewat jejaring sosial itu. Aku dan istriku diajak pula  untuk menghadiri akad nikahnya. Tapi dengan alasan ada pekerjaan yang harus segera diselesaikan, hanya istriku saja yang menghadirinya.

Sore harinya rombongan yang mengantar pengantin pria sudah kembali dari kota B. Sesampainya di rumah istriku bercerita panjang. Perempuan yang dinikahi tetangga yang satu itu ternyata rupanya tidak lebih cantik dari mantan istrinya. Begitu juga keadaan orang tuanya yang sebelumnya dibangga-banggakan sebagai orang  yang kaya-raya, ternyata biasa-biasa saja.

Malahan ibu tetangga kami itu yang juga sebelumnya suka ikut membangga-banggakan calon menantunya yang baru, yang bergelar S1 dan bekerja sebagai guru,  saat resepsi – kata istriku, malah mati kutu! Sikapnya diam seribu bahasa, dan menundukan kepala seolah menghindari tatapan mata para pengantar anaknya. Betul bergelar S1, tapi ngajar anak-anak PAUD. Bukan PNS seperti omongan ibunya sebelumnya.

“Kalau begitu ibarat cari umbut kena buku dong,” komentarku. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun