Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Antara Jokowi dan Mao Zedong

7 Oktober 2014   02:27 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:08 204
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joko Widodo, atawa biasa dipanggil Jokowi, Presiden terpilih pada Pilpres 9 Juli lalu, dan akan dilantik sebagai Presiden ke-7 RI pada Senin (20/10/2014) mendatang, ketika ditelisik ternyata memiliki kesamaan dengan pendiri Republik Rakyat Tiongkok, Mao Zedong (1893 – 1976).

Akan tetapi bukan masalah etnis – sebagaimana black campaign yang berkembang kemarin jelang Pilpres, atawa faham politiknya. Bukan. Bukan itu. Melainkan pemikiran keduanya yang berkaitan dengan desa.

Ya, kata ‘desa’-nya tok. Karena sebetulnya kalau ditelaah lebih dalam, pemikiran Jokowi dengan Mao Zedong tentang desa itu jelas sekali bertolak belakang.

Seperti yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, dalam buku Surat Dari Palmerah (Penerbit KPG), kata ‘desa’ yang dimaksud, adalah taktik, atawa strategi perang Mao Zedong yang terkenal itu: Desa mengepung kota. Jelas sifatnya adalah destruktif.

Sedangkan buah pikiran Jokowi terkait desa terdapat dalam poin ke-3 program prioritas yang bakal mendukung visi misi ketika menjadi Presiden RI 2014 – 2019, yang dituangkan di dalam sembilan agenda prioritas dengan nama Nawa Cita.

Adapun poin tersebut berbunyi: Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan.

Bisa jadi, desa, baik di mata Jokowi, maupun Mao Zedong memiliki ‘sesuatu’ yang mahapenting di dalam berdiri tegaknya sebuah negara. Terlepas dari pandangan sebagian orang yang ‘sok kekota-kotaan’ acapkali memandang sinis terhadap desa itu. Bahkan dengan nada mengejek disebutnya pula orang desa itu dengan idiom yang diambil dari bahasa Jawa:  ‘ndeso’, atau yang lebih nylekit di hati orang desa kalau sudah disebut: Kampungan!

Meskipun memang betul selama ini masyarakat desa seakan termarjinalkan, seperti disebut Mao Zedong sebagai: wu-chan chieh-chi (lapiasan sosial yang hanya memiliki sedikit harta), dan di mata Jokowi dianggap masih tertinggal jauh dari mereka yang tinggal di wilayah perkotaan, akan tetapi desa, sebagaimana disebutkan tadi, masih memiliki sesuatu yang mahapenting, dan bisa menjadi modal untuk tumbuh-kembangnya negara agar lebih maju lagi.

Sesuatu itu antara lain kearifan lokal, budaya gotongroyong  yang masih hidup. Seberat apapun suatu beban, kalau dipikul bersama-sama, sudah tentu akan terasa ringan. Begitulah yang terdapat di dalam falsafah gotongroyong tersebut. Apalagi jika diterapkan di dalam kegiatan pembangunan. Sementara di perkotaan sepertinya sudah terkubur oleh sifat individualistis.

Bahkan sebagai negara agraris, kebutuhan pangan juragan-juragan yang tinggal di kota, kenyataannya tokh dipasok dari wong ndeso.

Sehingga desa oleh Jokowi dijadikan prioritas, atawa target penting dalam agenda kerjanya ke depan.

Dan rakyat di desa menantikan dengan HHC (Harap-harap cemas), dan tanpa sabar lagi bukti nyata janji Sang Presiden tersebut. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun