[caption id="attachment_375193" align="aligncenter" width="500" caption="TRIBUNNEWS/HERUDIN"][/caption]
Mengikuti dinamika partai politik yang berlogo pohon beringin itu belakangan ini, memberi kesan bagaikan pohon yang tumbuh sumbur di era rezim Orde Baru tersebut sekarang ini akarnya telah lapuk membusuk, dahan dan rerantingnya telah mulai mengering, begitu juga daunnya pun kian banyak yang berguguran jatuh diterpa angin.
Memang betul. Saat ini partai yang dikendalikan ‘Godfather’-nya kelompok usaha Bakrie, Aburizal Bakrie, di Pemilu April lalu menduduki posisi urutan ke-2 dalam perolehan suaranya. Akan tetapi sebagai runner up sekalipun, partai politik yang satu ini kemudian ternyata seolah tak mampu berbuat banyak untuk merebut posisi puncak dalam Pilpres. ARB yang sebelumnya sangat getol menjajakan dirinya lewat stasiun televisi miliknya untuk maju sebagai calon presiden, malah mundur di saat perang tanding akan dimulai. Bagaikan panglima yang kalah sebelum perang saja memang. ARB bersama sebagian ‘pasukan’-nya justru malah mengubah arah, dan ‘turun gunung’ karena mendukung parpol yang di Pemilu perolehan suaranya berada di bawah mereka, yakni Partai Gerindra yang mengusung capres Prabowo.
Sebelumnya ARB disangka orang paling tidak bakal bersanding dengan mantan menantunya mediang penguasa Orde Baru itu, sebagai calon wakil presiden. Tapi dalam kenyataannya prediksi itu meleset sama sekali. ARB ternyata hanyalah sebagai ‘penggembira’ belaka, alias tim sukses pasangan Prabowo-Hatta yang kemudian ahirnya menelan kekalahan.
Maka tak pelak lagi banyak kader yang uring-uringan, dan tak sedikit yang ‘loncat pagar’ dengan kondisi seperti itu. Sepertinya pohon beringin yang usianya sudah uzur itu kian goyah diterpa ‘angin’ dari berbagai arah. Di samping kegagalan ARB ‘merebut’ posisi puncak di negeri ini, mantan Menko Kesra inipun sudah tak mampu  menjaga, dan memelihara soliditas para kadernya itu sendiri lagi.
Kalau melihat ke belakang, paska runtuhnya pemerintahan Soeharto di tahun 1998 lalu, kemudian disusul dengan Pemilu 1999 di awal era Reformasi, rakyat menyaksikan kedigjayaan parpol yang di masa jayanya menampik disebut partai politik itu didepak oleh ‘musuh-bebuyutannya’, PDIP yang dipimpin Megawati Soekarno Putri.
Memang perolehan suara partai Golkar dalam Pemilu selama ini belum terpuruk ambruk sama sekali. Biasanya berada di posisi ke-2 atawa ke-3. Hal itu bisa jadi karena hegemoninya juga selama hampir 32 tahun berkuasa di republik ini, tidak menutup kemungkinan ‘akar’ partai Golkar bisa menembus seluruh lini di dalam birokrasi. Meskipun tak pernah berada di posisi puncak, partai Golkar masih bisa menempatkan banyak kadernya di posisi menteri, atawa posisi strategis lainnya di pemerintahan. Sehingga mereka pun hingga sekarang masih mampu bernafas panjang.
Sebetulnya tidak hanya sebatas itu saja memang. Sekali waktu, di Pilpres 2004 lalu saat ketua umumnya dipegang Jusuf Kalla, partai tersebut menempatkan Sang Ketum-nya menduduki kursi RI-2 mendampingi Presiden SBY. Sebagaimana halnya sekarang ini, meskipun kondisinya berbeda, alias tanpa mendapat restu sebagian para ‘penggede’ (Elit) partai Golkar  - termasuk ARB sendiri, barangkali, Jusuf Kalla kembali menjadi Wapres untuk mendampingi Presiden Jokowi.  Bagaimanapun seorang Jusuf Kalla meskipun tak memiliki jabatan penting di tubuh partai beringin, dalam kenyataannya masih memiliki ‘kekuatan’ dibanding ARB sendiri. Sehingga kita menyaksikan partai Golkar yang memposisikan diri sebagai oposisi itupun, dengan tanpa sungkan terus ‘mengganggu’ kadernya sendiri yang dianggap oleh mereka telah bersikap ‘murtad’.
Terbukti saat ini, pohon beringin yang sudah mengering ini, di dalamnya muncul faksi-faksi. Banyak di antara mereka saling beradu kekuatan, yang antara satu dengan lainnya saling sikut, saling tendang, dan saling jerumuskan. Dan ’kekuatan-kekuatan’ di luar kekuatan ARB sendiri, telah unjuk nyali kalau mereka sudah tidak membutuhkan figur ARB menakhodai parpol yang dibanggakannya ini. Mereka - para penentang ARB, menganggap 'bigg boss'-nya itu selama ini hanyalah mementingkan diri dan orang-orang yang berada di kubunya sendiri. Sama sekali tidak ada kontribusi untuk untuk meraih kemegahan seperti di era Orde Baru. Bahkan janji untuk membangun sebuah gedung saja, sampai kini tak dipenuhi.
Maka seandainya ARB akan maju mencalonkan diri kembali sebagai Ketua Umum di Munas Partai Golkar mendatang, bahkan seandainya sampai merebut kembali kursi pimpinan, diperkirakan parpol yang satu ini akan semakin terkapar, alias ditinggal pergi banyak kadernya lagi. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H