Ketika ke rumah kita ada dua orang tamu, dan disuguhi kopi, cobalah iseng-iseng tanyakan pada keduanya bagaimana rasa kopi yang kita suguhkan itu. Tidak menutup kemungkinan jawaban antara keduanya akan berbeda, alias tidak sama. Bisa jadi pendapat tamu yang satu mengatakan kalau kopi itu rasanya cukup enak. Manisnya gula dan pahitnya kopi seimbang. Sedangkan pendapat tamu yang kedua menyatakan kalau kopi yang diminumnya terlalu pahit.
Sebagaimana pernyataan Sarpin Rizaldi, hakim praperadilan kasus gugatan sebagai tersangka calon tunggal kapolri (yang tidak jadi dilantik), Komjen BG, bahwa Kepala Pendidikan Polri itu bukan seorang penegak hukum. Alasannya karena jabatannya itu tadi, sebagai kepala pendidikan. Bisa jadi di mata Sarpin kepala pendidikan identik dengan kepala sekolah kalau di lembaga pendidikan dasar dan menengah, dan seorang rektor yang memimpin sebuah perguruan tinggi. Sehingga fungsi kepolisian yang termaktub dalam pasal 12 UU nomor 2 tahun 2002 tidak ada lagi artinya sama sekali bagi hakim Sarpin ini.
Jika demikian halnya, pantas saja kalau suatu ketika, tepatnya pada raya Iedul fitri beberapa tahun lalu, penulis menyaksikan suatu peristiwa kecelakaan lalu-lintas, tabrakan antara sepeda motor dengari sebuah kendaraan roda empat, dan kebetulan tak ada polantas, maka penulis berinisiatif untuk melaporkan peristiwa itu ke kantor polisi (Pilsek) terdekat yang hanya berjarak sekitar 500 meter saja dari TKP, dan kebetulan lokasi kantor polsek di arah depan jalan yang akan dilalui penulis.
Setelah membantu memberikan pertolongan bersama warga sekitar, penulis bergegas menuju ke kantor polsek yang dimaksud. Tiba di sana, tampak beberapa petugas polisi sedang asyik nonton televisi. Dan kehadiran saya tampaknya dirasakan mereka telah mengganggu keasyikannya itu. betapa tidak, saya diterima dengan sikap kurang ramah, dan terkesan acuh tak acuh. Bahkan saat saya meyampaikan laporan tentang peristiwa lakalantas itupun, tanggapan dari petugas di polsek tersebut sepertinya dianggap angin lalu. Sungguh. “Aduh, kebetulan petugas lalu-lintasnya nggak ada. Bagaimana ya ?” Yang awalnya berharap ada respon positif, sedangkan kenyataannya seperti itu, apa boleh buat. Penulis merasa jengkel juga dibuatnya. Sambil mengumpat dalam hati, penulis pun minta diri.
Demikian juga dengan pengalaman lain yang pernah dialami tahun 2013 lalu. Saat penulis bersama seluruh keluarga pergi ke masjid untuk menunaikan shalat tarawih, dan sepulangnya dari masjid ditemukan jendela kamar kerja penulis sudah terbuka secara paksa, karena seingat kami semua jendela dan pintu sudah dikunci semuanya sebelum ditinggal pergi, sementara laptop dan dua buah handphone sudah raib dari tempatnya, kemudian kami berkesimpulan kalau kamar kerja penulis kemasukan maling, maka selanjutnya penulis pun melaporkan kejadian itu ke kantor polsek di wilayah kami.
Laporan penulispun diproses sebagaimana mestinya oleh anggota polisi yang bertugas piket saat itu. TKP pun diperiksa dengan seksama oleh tiga orang anggota polisi. Akan tetapi laporan yang disampaikan penulis sama sekali tidak ada tindak lanjutnya. Sewaktu penulis mencoba menanyakannya pada salah seorang anggota polsek, jawabnya hanya sebatas: “Masalah kehilangan itu adalah urusan kanit reskrim. Lagipula kami kekurangan personel, dan kekurangan anggaran untuk melakukan penyelidikan laporan tersebut.”
Sementara jikaurusan itu menyangkut hal lain, misalnya saja ketika itu penulis jadi panitia pembangunan kantor desa, para petugas kepolisian itu, mulai dari kapolseknya sendiri sampai anak buahnya hampir saban hari datang ke lokasi pembangunan. Dalam buku tamu, tujuan kedatangan mereka selain melakukan patroli pengamanan, juga tertera sekedar silaturahmi saja. Dan sebagai salah seorang panitia, penulis tahu persis, sebagai bangsa di belahan timur yang masih menjunjung tinggi adat-istiadat, sebagai bentuk penghormatan kepada tamu yang berkunjung, sudah tentu harus disuguhi kopi dan penganannya, juga rokok bagi yang suka. Semua itu artinya anggaranpun jadi membengkak, tentu saja. Padahal, ya padahal mustinya petugas polisi itu pun tahu anggaran untuk menghormati kedatangan mereka tidak ada dalam RAB (Rancangan Anggaran Biaya)-nya. Suatu hal yang mustahil kalau panitia harus merogoh kocek sendiri, maka suka maupun tidak jika bendahara harus mengutak-atik angka pengeluaran hanya untuk menyuguhi tetamunya itu, apalagi namanya kalau itu identik pula dengan tindak pidana korupsi ?
Entahlah. Yang jelas begitu adanya memang. Sebagaimana pendapat hakim Sarpin yang mengatakan kalau komjen BG itu bukan penegak hukum, sedangkan pendapat mantan Wakapolri Jenderal Oegroseno menyatakan bahwa seluruh anggota Polri merupakan petugas penegak hukum, sesuai UU nomor 2 tahun 2002, bisa jadi merupakan suatu hal wajar karena setiap isi kepala orang berbeda-beda memang.
Akan tetapi apakah rasa kopi identik dengan penafsiran sebuah UU - yang merupakan suatu ketetapan yang pengkajiannnya dilakukan oleh banyak orang (Selain oleh institusi yang berwenang, dikaji pula oleh para pakar), tergantung pada selera orang yang menilai masalah tersebut ?
Jika demikian, kita hanya mampu bergumam: Pantesan saja... Pernyataan Hakim Sarpin itu bagi publik rasanya pahit bak kopi kurang gula... ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H