Mohon tunggu...
Adjat R. Sudradjat
Adjat R. Sudradjat Mohon Tunggu... Penulis - Panggil saya Kang Adjat saja

Meskipun sudah tidak muda, tapi semangat untuk terus berkarya dan memberi manfaat masih menyala dalam diri seorang tua

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Bukan Beras yang Jadi Masalah, Warga Kampung Ini Butuh Saluran Irigasi

1 Maret 2015   02:58 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:20 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mafia kasus, mafia hukum, mafia migas, mafia pajak, mafia peradilan... Sekarang tambah satu lagi, mafia beras. Hebatnya bangsa ini. Kosakata dari negeri spagheti pun diklaim menjadi kosakata bahasa Indonesia yang moncer belakangan ini.

Menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia), kata mafia artinya perkumpulan rahasia yg bergerak di bidang kejahatan (kriminal). Sementara berdasarkan sejarahnya (kalau tidak salah), jelasnya kata mafia itu berasal dari bahasa Sisilia kuno, mafiusu. Kemudian kata mafia itu juga dirujuk sebagai La Cosa Nostra (bahasa Italia: Hal Kami), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia di sisilia dan Amerika Serikat.

Mafia awalnya merupakan nama sebuah konfederasi orang Sisilia pada Abad Pertengahan dengan tujuan untuk perlindungan dan penegakan hukum. Akan tetapi kemudian konfederasi ini berubah sebagai kelompok kejahatan yang terorganisir.

Selain mafia, kelompok kejahatan terorganisir lainnya di Jepang dikenal dengan nama Yakuza, dan Triad adalah sebutan mafia Tiongkok. Sementara di negeri Indonesia sendiri, tampaknya sebutan mafia sebagaimana disebutkan di atas, lebih cenderung terhadap kelompok kejahatan kerah putih (White collar crime), yang merujuk pada merujuk pada kejahatan yang umumnya dilakukan di dunia bisnis atau birokrasi.

Nah, bisa jadi pula apa yang disinyalir menteri perdagangan, Rachmat Gobel terkait melonjaknya harga beras di pasaran, disebabkan karena ada mafia beras. Ada kelompok tertentu yang sengaja ‘mempermainkan’ harga makanan pokok sebagian besar bangsa ini.Lalu siapa yang dimaksud mafia beras itu. Apa mungkin ada oknum di lembaga yang biasa mengurusi masalah urusan beras di negara kita, yaitu di Bulog, yang sengaja bermain-main dengan urusan perut bangsa ini, atawa...ada kelompok tertentu yang sengaja memboikot program swasembada beras Presiden Jokowi ?

Entahlah. Yang jelas di kampung saya, jelasnya Desa Sukamaju, Kecamatan Pagerageung, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat, muncul anekdot yang bila didengar sekilas, akan membuat orang langsung tertawa. Betapa tidak, heboh kenaikan harga beras di media, justru ditanggapi warga kampung kami dengan guyonan. “Untung di sini mah tidak ada orang yang makan beras. Kecuali ayam. Warga kampung kita sejak dulu sampai sekarang makanan pokoknya ‘kan nasi !”

Akan tetapi terlepas dari masalah adanya mafia maupun guyonan tadi, sebetulnya warga di kampung kami tidak begitu terganggu dengan melonjaknya harga beras itu. Hal itu karena sebagian besar warganya rata-rata memiliki sawah, tempat bercocok tanam padi. Sementara bagi warga yang tidak memiliki sawah, mereka menyewa sawah dari pemilik sawah yang mempunyai areal sawah lumayan luas. Selain menyewa pada sesama petani pemilik sawah yang lumayan luas, ada juga yang menyewa sawah milik negara yang menjadi upah bagi Kepala Desa dan Pamong (Aparat) Desa.

Seorang Kepala Desa, selama menjabat mendapat hak pengelolaan sawah seluas 4,5 hektar. Sedangkan pamong Desa rata-rata mendapatkan satu hektar per orangnya. Sehingga untuk memenuhi kebutuhan perut, sebetulnya bisa dikatakan lebih dari cukup.

Hanya saja yang jadi permasalahan bagi warga di kampung kami selama ini, tak lain dari perkara irigasi (saluran air) yang masih berbentuk tradisional. Sama sekali belum tersentuh oleh modernisasi. Padahal seandainya saluran utama (Primer) irigasi yang diperkirakan panjangnya sekitar 4000 meter dan lebar dua meter itu dibangun secara permanen, selain akan menambah masa tanam padi yang biasanya dua kali per tahun menjadi tiga kali, juga tanggul irigasi itu sendiri tidak akan berubah menjadi semakin sempit, karena ulah pemilik tanah di kiri-kanan saluran irigasi yang nakal dengan menggeser tanggul semakin ke dalam.

Usulan untuk pembangunan saluran irigasi itupun sebetulnya hampir saban tahun dimasukkan dalam skala prioritas musrenbangdes (musyawarah Rencana Pembangunan Desa). Demikian juga setiap ada anggota dewan, atawa pejabat terkait dari kecamatan dan kabupaten, selalu disampaikan berikut menyerahkan proposal. Bahkan ketika musim kampanye pemilu yang lalu, salah seorang caleg (pertahana) dari PDIP pernah menjanjikan untuk mewujudkan permohonan warga kampung kami itu.

Namun entah bagaimana, janji itupun belum juga ada realisasinya sampai sekarang ini... ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun