Dr tasrifin menambahkan, perkembangan masyarakat Bajo saat era tahun 1980-an sampai 1990-an, generasinya sudah tidak berorientasi ke laut semata. Mereka mengalihkan orientasi sama dengan orientasi orang darat. Ada yang sudah bekerja sebagai PNS, melanjutkan pendidikan sampai ke perguruan tinggi, ada yang jadi pengusaha, dagang, bahkan ada juga yang terjun dalam dunia politik. Oleh karena itu, saat ini di berbagai tempat kita dapat menemukan orang Bajo yang menjadi PNS, tukang ojek, pekerja di resort wisata, anggota partai politik, anggota legislatif, dan bahkan menjadi aktivis LSM.
Selain perubahan orientasi pekerjaan dari yang semata-mata menjadi nelayan tambah Tasrifin, kebangkitan orang-orang Bajo juga dapat ditelusuri pada kegiatan kenelayanan yang sudah menjadi trade mark suku Bajo selama ini. Nelayan-nelayan banyak yang tidak lagi menjual langsung hasil tangkapannya ke pasar lokal seperti dulu.
“Mereka saat ini cukup menjual hasil tangkapannya ke papalele (pedagang pengumpul) yang datang dari daratan sehingga mereka masih dapat melakukan kegiatan lain yang mendatangkan uang seperti membuka warung atau kios” papar Tasrifin Tahara.
Antropolog Unhas ini berpendapat, untuk merajut masa depan dan menjawab tantangan ke depan, penting bagi orang Bajo untuk menguatkan identitas dalam bentuk kerjasama di bidang ekonomi, politik dan peran terhadap pembangunan Indonesia khususnya Pembangunan Poros Maritim Indonesia dan menjalin harmonisasi antar etnik.
Potensi itu menurut Tasrifin bisa dikembangkan dengan memaksimalkan potensi pengelolaan sumberdaya laut berkelanjutan yang akan menjawab “stigma” bahwa Bajo sebagai perusak laut menjadi penjaga laut dan kedaulatan negara yang selama ini dilakoni di berbagai wilayah di atas karang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H