Buku atau yang kerap dianalogikan sebagai jendela dunia, adalah faktor penting dalam sistem pendidikan. Tak hanya itu, di dalamnya terdapat berbagai macam pengetahuan yang berguna untuk mencerdaskan manusia yang penuh rasa keingintahuan dan haus akan ilmu. Untuk mewujudkan suatu buku tentulah memerlukan proses yang memakan banyak waktu, mengerahkan pikiran, dan menguras tenaga dari banyak pihak. Sudah sepatutnya bagi kita, untuk mengapresiasi setiap karya tulis yang syarat akan ilmu pengetahuan tersebut.
Sungguh disayangkan jika karya yang dihasilkan dari jerih payah penulis, penerbit, dan pihak lain yang ikut andil dalam perwujudan sebuah buku, malah dengan mudahnya dicurangi oleh para pelaku plagiat. Buku yang telah terbit dan beredar di toko buku, tak jarang diperbanyak, dibajak dan dapat ditemui di pasar ataupun pusat perbelanjaan. Mahalnya harga buku dan daya beli masyarakat yang rendah seakan menjadikan buku bajakan sebagai sebuah solusi.
Buku bajakan berhasil menarik minat beli masyarakat dengan harga miring dan isi yang persis sama dengan buku asli yang dijual di toko-toko buku legal. Para pelajar, terutama kalangan mahasiswa pun diuntungkan dengan hadirnya buku bajakan ini. Pasalnya anggaran untuk membeli buku asli atau kerap disebut buku ori, dapat dipangkas hingga setengahnya dengan membeli buku bajakan. Kini kita dapat dengan mudah menemukan tumpukan buku-buku bajakan yang dipajang dalam kios-kios, seperti di kawasan Pasar Senen, Pondok Cina dan Blok M. Buku-buku ini tak diperjual-belikan secara sembunyi, melainkan diumbar layaknya menjual atau membeli pakaian dan makanan. Hal ini seakan membuktikan bahwa penjualan dan pembelian buku bajakan, bukanlah suatu hal yang tabu dalam benak masyarakat.
Meski buku bajakan memiliki perbedaan yang signifikan dengan buku asli, seperti : kualitas kertas yang buruk, tulisan yang tak rapi dan lembaran kertas yang mudah robek, tak menyurutkan minat para pembeli buku bajakan demi mendapatkan buku dengan harga yang lebih murah. Bahkan dengan adanya UU No. 28 tahun 2014 tentang hak cipta, yang mengancam para oknum mendapatkan hukuman berupa pidana minimal 10 tahun atau denda sebesar Rp.4 Milyar, tak lantas membuat jera para oknum penjual dan pembeli buku bajakan ini.
Salah satu penjual buku bajakan di pusat perbelanjaan Blok M, Nina (nama disamarkan) misalnya. Wanita berusia 40 tahun ini, mengaku telah berjualan buku bajakan selama lima tahun. Bahkan, ia mengaku memiliki empat kios sekaligus yang khusus menjual buku-buku bajakan di kawasan Blok M ini. Nina menjual berbagai macam buku pelajaran, mulai dari buku pelajaran tingkat SD hingga buku-buku perkuliahan. Meski demikian ia mengaku bahwa di kiosnya tak hanya menjual buku bajakan, melainkan juga menjual buku-buku asli yang diterbitkan oleh penerbit.
Nina mengaku, buku bajakan yang ia jual banyak diminati oleh kalangan mahasiswa. Pasalnya, buku-buku yang biasa digunakan mahasiswa merupakan buku yang tergolong mahal jika dibeli di toko-toko buku legal. Dengan kisaran harga Rp.80.000 - Rp. 100.000, mahasiswa bisa membawa pulang buku bajakan yang diperlukannya. Jauh lebih murah jika dibandingkan dengan harga buku asli yang dijual di toko buku ternama, yang bisa mencapai harga Rp. 400.000 -- Rp. 500.000. Nina menambahkan, bahwa ia hanya menjual buku bajakan yang banyak diminati oleh para pembeli.
"Kalau mahasiswa cari buku yang kw (bajakan) karena yang orinya (asli) mahal. Karena mereka maunya yang murah, jadi mau gak mau kita buat yang kw. Karena banyaknya permintaan, jadi kita buat yang kw. Itu juga gak semua buku, hanya buku yang sering dicari dan harganya mahal aja yang dibajak," ujar Nina.
Sumber dari buku bajakan yang dijual Nina, adalah buku bajakan hasil cetak (fotocopy) sendiri dan buku bajakan hasil dari percetakan. Nina mengatakan, jika buku bajakan hasil cetak sendiri, meskipun cepat proses pengerjaannya tetapi hasilnya menjadi lebih mudah robek. Berbeda dengan buku bajakan hasil dari percetakan, lebih bagus meskipun tetaplah buku bajakan.
Ketika ditanya mengenai omzet dari penjualan buku bajakan ini, Nina tak menjawab. Namun, ia memastikan jika penjualan buku bajakan meningkat pesat saat tahun ajaran baru ditingkat universitas. Saat mendekati tahun ajaran, Nina pun mulai memproduksi buku-buku bajakan yang akan dijajakannya.
Nina sebenarnya paham bahwa apa yang ia lakukan adalah melanggar hukum. Ia juga mengaku mengerti bahwa yang dilakukannya, memproduksi dan memperjual-belikan buku bajakan telah melanggar undang-undang tentang hak cipta.
"Ya tahu kalau pembajakan buku itu melanggar undang-undang. Kan sudah dijelasin di dalam bukunya kalau melanggar undang-undang, karena ada hak paten. Memang sebenarnya tidak boleh digandakan tanpa seizin," ucapnya.