Mohon tunggu...
Arsela Putri Harisma
Arsela Putri Harisma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Mahasiswa

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Pandangan Islam terhadap Human Trafficking

3 April 2023   09:37 Diperbarui: 3 April 2023   09:38 200
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perdagangan orang merupakan salah satu tindakan keji dalam kejahatan. Perdagangan orang juga merupakan kejahatan luar biasa yang dapat mencoreng kehidupan manusia. Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU No. 21Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Perdagangan Orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.

Dalam KUHP juga disebutkan secara jelas yang dapat dikaitkan dengan pola-pola trafficking Eksploitasi seksual, Perbudakan, Eksploitasi tenaga kerja, Pekerja anak, Penyekapan/penahanan ilegal, Pengambilan organ tubuh secara paksa.

Islam sangat melarang adanya Human Trafficking karena dianggap melanggar harkat dan martabat kemanusiaan. Dalam Islam terdapat dalam surat An-Nur:24 ayat 33 yang berbunyi :

Artinya :

"Dan orang-orang yang tidak mampu menikah hendaklah menjaga kesucian (dirinya), sampai Allah memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya. Dan jika hamba sahaya yang kamu miliki menginginkan perjanjian (kebebasan), hendaklah kamu buat perjanjian

kepada mereka, jika kamu mengetahui ada kebaikan pada mereka, dan berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepadamu. Dan janganlah kamu paksa hamba sahaya perempuanmu untuk melakukan pelacuran, sedang mereka sendiri menginginkan kesucian, karena kamu hendak mencari keuntungan kehidupan duniawi. Barang siapa memaksa mereka, maka sungguh, Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang (kepada mereka) setelah mereka dipaksa." (QS. An-Nur 24: Ayat 33).

Berdasarkan sebab-sebab turunnya ayat di atas, dapat dipahami bahwa perdagangan manusia pada dasarnya telah dipraktikkan sejak zaman dahulu. Bahkan ketika ayat ini muncul, perbudakan telah menjadi tradisi yang praktiknya telah mendarah daging di berbagai masyarakat dunia, termasuk masyarakat Arab, selama berabad-abad. Tidak hanya di Arab, tetapi juga di negara-negara lain seperti Romawi, Yunani, Inggris, Prancis, dan Amerika. Menurut Roberts, semua motif perbudakan yang dipraktikkan di Arab sudah ada sebelum kedatangan Islam, dan Islam menolak hukum kuno tentang perbudakan yang lazim di budaya lain. Sehingga dapat dipahami bahwa dalam sejarah Islam klasik perdagangan manusia muncul setelah masa khulafaur rasyidin dan praktiknya dikenal dengan Bai al- Bigha yang secara harfiah berarti jual beli pelacur. Fuqaha sering menggunakan istilah ini untuk merujuk pada eksploitasi pelacuran atau komersialisasi perempuan, yang akhir-akhir ini menjadi masalah global dengan istilah baru, perdagangan perempuan atau trafficking in women. Secara tidak langsung Nabi SAW. mengutuk keras tindakan kriminal seperti perdagangan manusia. Dalam hadist Nabi Muhammad SAW. dikatakan: "Ada tiga orang yang akan menjadi musuhku di akhirat. Mereka yang bersumpah setia kepadaku, tetapi mereka melanggarnya; mereka yang berdagang dan menjual orang bebas (merdeka) kemudian akan memakan hasilnya; dan mereka yang bekerja akan mendapat manfaat darinya, tetapi dia tidak memberinya upah yang seharusnya. (H.R. Imam Muslim)". Islam datang membawa konsep tauhid untuk membebaskan manusia dari segala bentuk perbudakan, baik dari sesama manusia, dari egonya sendiri maupun dari tuhan-tuhan buatan manusia, baik yang disengaja maupun yang tidak disengaja.

Penulis

1. Arsela Putri Harisma (Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung)

2. Dr. Ira Alia Maerani, S.H., M.H. (Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun