Mohon tunggu...
Arsanda Hadriansyah
Arsanda Hadriansyah Mohon Tunggu... Seniman - Seorang Pelajar

Siswa SMA di Cikarang yang hobby memakan sambal tanpa minum

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Impor KRL Dilarang, Rakyat Melarat

9 Juni 2024   21:48 Diperbarui: 9 Juni 2024   22:29 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Rasanya, stasiun Manggarai semakin padat hari demi hari. Orang-orang tidak dapat menggunakan tangga manapun karena antrian menunggu kereta melebar hingga tangga. Antrian yang mengular salah satunya disebabkan oleh kurangnya armada kereta rel listrik (KRL) yang disediakan oleh PT Commuter.

Penambahan armada dengan mengimpor kereta bekas dari Jepang sudah pernah sempat menjadi opsi. Namun, kebijakan tersebut ditolak mentah-mentah oleh pemerintah. Penolakan adalah keputusan yang keliru. Larangan impor KRL bekas Jepang menyengsarakan rakyat dan sangat politis. Mulai dari ketidaksiapan industri nasional dalam memproduksi KRL, hitungan okupansi penumpang yang tidak kontekstual, proteksionisme 'gadungan', hingga kedekatan pemerintah terhadap Tiongkok menjadi alasan mengapa larangan tersebut tidak seharusnya terjadi.

Larangan impor KRL bekas Jepang sempat menjadi polemik pada tahun 2023 lalu. Rencana ini mencuat dan diusulkan oleh PT Kereta Commuter Indonesia (KCI). Rencana tersebut dilatarbelakangi oleh pemberhentian operasional 19 armada pada tahun 2023 dan 10 armada pada tahun 2024 dari 96 armada yang dimiliki oleh KCI. Namun, rencana tersebut ditolak oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin).

Penolakan oleh Kemenperin tersebut didasari dengan alasan, salah satunya, adalah kegiatan impor kereta bekas JR tidak mendukung atau kontraproduktif dengan industri manufaktur kereta buatan PT INKA. Selain itu, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menganggap bahwa armada yang sudah tua hanya perlu dilakukan retrofit atau pemugaran. BPKP juga menilai bahwa armada yang dimiliki masih cukup untuk menampung pengguna KRL dan tidak overload dengan perhitungan tidak lebih banyak dari tahun-tahun sebelumnya.

Dalam memenuhi kebutuhan KRL, PT INKA, sebagai perusahaan produsen KRL dalam negeri, baru dapat menyediakan armada baru pada tahun 2025. Itupun belum sepenuhnya dapat menggantikan kebutuhan KRL sepenuhnya. Secara kualitas, produk KRL buatan PT INKA memiliki beberapa catatan buruk. Kereta buatan INKA pernah digunakan PT KCI untuk rute Jakarta. Namun, pada tahun 2012 kereta tersebut ditarik dari operasinya karena mengalami sejumlah masalah. Hal tersebut menyebabkan PT INKA masih diragukan karena catatan buruk yang dimiliki.

Hitungan BPKP, sebagai auditor rencana impor, pun juga tidak kontekstual. seringkali terjadi penumpukan penumpang, bahkan BPKP mengakui akan overload itu, tetapi yang menjadi fokus adalah okupansi. Hal ini jelas menunjukkan bahwa BPKP tidak mempertimbangkan waktu peak hour dalam melihat penuh atau tidaknya kereta. Jika hal tersebut terjadi, maka banyak yang akan menjadi "korban" dari pelarangan impor ini, salah satunya adalah pengguna KRL yang kebanyakan para pekerja. Bukan tidak mungkin jika pekerja dirugikan dan berdampak pada ekonomi yang seharusnya mereka gerakkan.

Selain itu, jika berbicara secara teoritis, proteksi yang dilakukan oleh pemerintah keliru. Friedrich List sebagai ekonom penggagas proteksionisme menjelaskan bahwa proteksionisme seharusnya dilakukan secara gradual atau bertahap. Sementara itu, pemerintah langsung menyetop importasi KRL dari Jepang tanpa mempersiapkan industri nasional secara betul-betul. Persiapan diperlukan untuk industri kereta dalam negeri karena industri tersebut merupakan infant industry, yaitu industri yang masih lemah. Industri perkeretaapian masih belum memiliki permintaan pasar yang solid, produksi kurang efisien, dan lebih rentan terhadap kompetisi global. Maka, pantas jika kita menyebut pelarangan impor KRL Jepang ini sebagai kebijakan proteksionisme gadungan.

Kebijakan ini lebih bersifat politis karena baru-baru ini Indonesia mengimpor KRL dari Tiongkok. Ibarat menjilat ludah sendiri, pemerintah Indonesia lebih memilih membeli KRL dari Tiongkok dibandingkan dengan Jepang atau Korea Selatan. Alasannya, harga lebih kompetitif dan pihak Tiongkok menyanggupi untuk memberikan transfer of knowledge. Omong kosong jika hal tersebut adalah yang menjadi alasan impor dari Tiongkok. Kerja sama dengan Tiongkok lebih didasari oleh hal politis. Kedekatan Indonesia dengan Tiongkok sangat kuat pada masa pemerintahan Joko Widodo. Indonesia juga disinyalir tertarik untuk masuk ke dalam BRICS, atau organisasi kerja sama internasional Brazil, Russia, India, China, Afrika Selatan, Iran, Mesir, Ethiopia, dan Uni Emirat Arab. Jadi, bukan hal yang tak mungkin bahwa impor KRL dari Tiongkok adalah salah satu cara memperkuat hubungan Indonesia dengan Tiongkok.

Dengan alasan-alasan tersebut, sudah jelas bahwa kebijakan untuk melarang impor KRL dari Jepang bukan dilandasi oleh kebutuhan, melainkan kekuasaan yang politis. Pemerintah pastilah tidak akan pernah berdesak hingga jadi tempe di KRL lintas Jakarta Kota-Bogor. Mereka hanya duduk manis diam di mobil listrik hasil olahan dengan pemerintah Tiongkok. Mereka tidak akan merasakan datang telat dimarahi bos karena terlambatnya KRL ke arah Sudirman. Untuk urusan ini, rakyat sebagai korban hanya bisa berharap pada Tuhan dan rumput yang bergoyang.

Referensi

Al Hikam, H. A. 2023. "Ini 4 Temuan BPKP yang Bikin Impor KRL Bekas Jepang Tak Direkomendasikan." detikFinance. https://finance.detik.com/berita-ekonomi-bisnis/d-6658669/ini-4-temuan-bpkp-yang-bikin-impor-krl-bekas-jepang-tak-direkomendasikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun