GOOD COMPANY BAD STOCK ANALYSISÂ (TOP-DOWN APPROACH)
ANALISIS EKONOMI DAN PASAR MODAL
IMF menyampaikan bahwa pertumbuhan ekonomi 2016 diperkirakan sebesar 5,0% yang diprediksikan didapat dari konsumsi swasta yang kuat. IMF juga memandang bahwa kebijakan moneter Indonesia yang dibuat sepanjang tahun 2016 ini sudah tepat. Pada tahun Agustus 2016, ketika nilai inflasi Indonesia mencapai tingkat terendah yakni sebesar 2,79%, Bank Indonesia memutuskan untuk menurunkan suku bunga kebijakan yakni implementasi suku bunga yang baru yakni BI 7-day Reverse Repo Rate dan kebijakan tersebut berjalan dengan lancar. Selain itu salah satu kebijakan pemerintah yang sangat berdampak besar adalah pengadaan tax amnesty.Â
Program tax amnesty Indonesia tergolong sukses, karena pemerintah mampu menarik WNI di luar negeri membawa dananya masuk dalam bentuk repatriasi ke Indonesia hingga mencapai Rp 200 triliun dari target repatriasi Rp 1000 triliun hanya dengan waktu 5 bulan. Program tax amnestytentunya sangat berdampak besar bagi industri pasar modal, karena pasar modal dapat menjadi gateway bagi dana repatriasi.
Berdasarkan portal berita kompas, Bank Indonesia menyatakan bahwa untuk 2017 mendatang kondisi perekonomian nasional akan lebih menjanjikan dan cukup kompeten. BI memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2017 akan berada pada kisaran 5 hingga 5,4 persen dan inflasi akan berada dikisaran target 4 ± 1%. Selain itu pada tahun 2017 mendatang, Indonesia sepakat untuk bekerja sama dengan India dalam beberapa sektor industri. Hal tersebut diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi Indonesia, khususnya pertumbuhan komunitas bisnis. Selain itu, Indonesia juga berharap untuk meningkatkan perdagangan dengan membuat variasi produk ekspornya ke India.
ANALISIS INDUSTRI
Para investor yang sebelumnya memiliki saham di sektor konsumer, diperkirakan akan pindah ke sektor yang salah satunya adalah aneka industri dikarenakan nilai saham konsumer telah mencapai valuasi yang tinggi dan pertumbuhannya diperkirakan tidak relative tinggi, kemungkinan dibawah 10 persen. Berdasarkan dua informasi diatas, nampaknya sub-sektor kabel pada sektor aneka industri berpotensi untuk terus menguat. Berikut merupakan perbandingan data PBV, PER, ROE dan EPS dari keenam emiten sub-sektor kabel, yang telah diolah dari laporan keuangan tahunan masing-masing emiten pada tiga tahun terakhir.
Dari data PBV diatas dapat dilihat bahwa sebagian besar nilai PBV < 1. Hal tersebut mencerminkan bahwa saham kabel masih undervalued atau murah. Beberapa saham dari sub-sektor ini juga memiliki nilai PER yang rendah, yakni dibawah nilai rata-rata yaitu 15. Nilai PER ini juga dapat digunakan untuk menilai saham, yang mana jika nilai PER saham dibawah 15 dapat dikatakan sebagai saham undervalued. Selain itu, nilai ROE dan EPSnya pun masih cukup tinggi bila dibandingkan dengan sub-sektor lain. Namun, mengapa saham sub-sektor kabel ini masih jarang terdengar dan diberitakan?
Pada awal tahun 2016, pemerintah sedang mengejar percepatan infrastruktur khususnya dalam bidang kelistrikan nasional. Bahkan pemerintah telah diterbitkan peraturan presiden untuk menunjang program tersebut. Peraturan tersebut ditetapkan pada tanggal 8 Januari, yaitu Peraturan Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 2016 tentang Percepatan Pembangunan Infrastruktur Ketenagalistrikan. Peraturan tersebut ditujukan untuk mempercepat pembangunan pembangkit 35.000 MW dan jaringan transmisi sepanjang 46.000 km dengan mengutamakan penggunaaan energi baru dan terbarukan dalam rangka mendukung upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Megaproyek yang digagas oleh pemerintah tersebut seharusnya memberikan imbas positif pada saham-saham sub-sektor kabel yang mana industri kabel ini salah satu penunjang infrastruktur kelistrikan.