Mohon tunggu...
Arry Azhar
Arry Azhar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar

Arry Azhar merupakan seorang yang hobi belajar. Baginya belajar adalah sesuatu yang mengasyikkan penuh dengan pengalaman serta nilai nilai kehidupan yang didapatkan. Melalui kompasiana, ia mencoba belajar menjadi penulis. Arry Azhar memiliki hoby membaca, mendengarkan musik, menulis, menonton film dan Traveling.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Cerbung Bagian 1 : Langit Kelabu di Ujung Senja

2 Februari 2025   12:51 Diperbarui: 2 Februari 2025   12:51 40
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Daerah Pinggiran kota (Sumber: Foto Pribadi)

Di sebuah desa kecil yang jauh dari hiruk-pikuk perkotaan, hiduplah seorang anak laki-laki bernama Damar. Ia berusia sepuluh tahun, tubuhnya kurus, kulitnya legam terbakar Cahaya matahari, dan matanya selalu memancarkan kesedihan yang dalam. Damar tinggal bersama ibunya, Sari, di sebuah gubuk reyot yang hampir roboh. Ayahnya telah lama meninggal karena sakit yang tak pernah bisa diobati.

Sejak pagi buta, Damar sudah terbangun. Ia tak pernah menikmati kemewahan seperti anak-anak lain seusianya. Sarapannya hanya segelas air dan sepotong ubi rebus sisa kemarin. Namun, ia tak pernah mengeluh. Ia tahu, ibunya sudah berusaha sekuat tenaga untuk bertahan hidup.

Sari bekerja sebagai buruh cuci di rumah-rumah orang kaya di desa itu. Upahnya tak seberapa, hanya cukup untuk membeli beras sekilo dan garam sejumput. Kadang, jika majikannya berbaik hati, ia diberi lauk sisa yang hampir basi. Itu pun masih dianggap berkah.

Damar tak pernah mengenal bangku sekolah. Ia sering mengintip dari jendela kelas di SD dekat rumahnya, memperhatikan anak-anak sebayanya yang belajar dengan seragam rapi. Ingin rasanya ia duduk di sana, menulis dengan pensil, membaca buku, dan bermimpi menjadi seseorang. Tapi, realita terlalu kejam.

Setiap hari, setelah ibunya pergi bekerja, Damar berkeliling desa mencari botol plastik dan kardus bekas untuk dijual ke pengepul barang rongsokan. Tangannya sering terluka oleh pecahan kaca, tapi ia tak pernah menangis. Ia tahu, tangisan tak akan mengubah apa pun.

Sore itu, hujan turun dengan deras. Damar berteduh di bawah emperan toko, menggigil kedinginan. Perutnya keroncongan, tapi ia tak punya uang untuk membeli sepotong roti. Ia hanya bisa menelan ludah, menahan lapar hingga ibunya pulang nanti.

Ketika malam tiba, Sari pulang dengan tubuh lelah. Wajahnya pucat, kakinya bengkak karena terlalu lama berdiri mencuci pakaian orang lain. Ia tersenyum tipis melihat Damar yang tengah duduk memeluk lutut di sudut rumah.

“Maaf, Nak, Ibu hanya bisa membawa ini,” katanya seraya menyodorkan sebungkus nasi putih dengan sejumput tempe goreng.

Damar tersenyum. “Tak apa, Bu. Damar sudah makan tadi,” bohongnya. Ia ingin ibunya makan lebih banyak.

Di tengah gelapnya malam, ibu dan anak itu tidur dalam dingin, hanya beralaskan tikar tipis yang sudah penuh lubang. Angin malam menerobos masuk dari celah-celah dinding bambu yang lapuk.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun