Mengenang nama Pramoedya Ananta Toer adalah mengenang sosok pejuang kata-kata yang tak kenal takut. Ia bukan sekadar penulis, tetapi seorang pejuang yang menggunakan pena sebagai senjata untuk menantang ketidakadilan. Bagi saya, membaca buku-buku Pramoedya adalah sebuah kehormatan, karena melalui karyanya, saya dapat menyelami keberanian, keteguhan, dan semangat perjuangan yang ia tanamkan dalam setiap lembarnya. Setiap kata yang ia tulis bukan sekadar rangkaian huruf, tetapi nyala api yang menerangi jiwa-jiwa yang mendambakan kebenaran.
Awal perkenalan saya dengan karya Pramoedya terjadi saat seorang senior di organisasi kemahasiswaan meminjamkan saya buku Bumi Manusia. Buku itu adalah gerbang menuju dunia yang berbeda, dunia di mana perjuangan melawan tirani dan kesewenang-wenangan begitu nyata. Saya membacanya di era ketika mahasiswa masih banyak yang  menjadikan buku sebagai amunisi intelektual dalam menyuarakan keadilan. Setiap lembar buku itu mengajarkan saya bahwa sejarah bukan hanya tentang masa lalu, tetapi juga tentang bagaimana manusia memilih untuk berjuang atau tunduk terhadap nasib. Pramoedya telah menghidupkan kembali suara-suara yang hendak dibungkam oleh penguasa.
Setelah menamatkan Bumi Manusia, saya enggan mengembalikannya. Buku itu seakan menjadi bagian dari diri saya, sebuah saksi bisu perjalanan intelektual yang semakin membakar semangat saya untuk mengenal lebih jauh tentang bangsa ini. Namun, saya tetap mengembalikannya dengan janji pada diri sendiri, saya harus memiliki buku ini. Saya akhirnya berhasil mengumpulkan seluruh tetralogi Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca. Keempatnya adalah manifesto tentang kebebasan, perjuangan, dan keteguhan seorang anak negeri menghadapi ketidakadilan. Buku-buku ini bukan sekadar bacaan, tetapi pusaka yang harus dijaga dan diwariskan.
Meskipun tetralogi tersebut begitu megah, bagi saya Arus Balik adalah puncak dari segala karya Pramoedya. Buku ini adalah monumen perjuangan yang tersembunyi, sebuah mahakarya yang seolah-olah sengaja disingkirkan dari peredaran. Saya mencarinya ke berbagai kota Jakarta, Bandung, Yogyakarta tetapi seakan dunia menolak untuk mempertemukan saya dengan buku ini. Mungkinkah isinya terlalu tajam bagi mereka yang ingin menutupi sejarah sejati? Saya tak tahu. Yang saya tahu, saya tak akan menyerah.
Pertemuan pertama saya dengan Arus Balik bagaikan pertemuan seorang prajurit dengan pedangnya yang telah lama hilang. Dalam sebuah diskusi mahasiswa di tahun 2009, saya melihatnya di genggaman seorang teman dari Universitas Indonesia. Namun, ia belum selesai membacanya, dan saya hanya diperbolehkan menyentuhnya sebentar. Namun, dalam waktu singkat itu, saya sudah dapat merasakan kedahsyatan buku ini. Pramoedya menggambarkan perjuangan bangsa ini dengan begitu agung, begitu membakar semangat. Salah satu bagian yang paling membekas adalah penggambaran suku Baduy dalam di Banten. Karena buku ini pula, saya akhirnya memutuskan untuk menapaki jejak mereka di tahun 2015. Betapa luar biasanya! Semua yang digambarkan Pramoedya begitu nyata, seakan ia sendiri telah hidup di antara mereka.
Perburuan saya terhadap Arus Balik berlanjut tanpa henti. Setiap kedai buku, setiap lapak di pasar loak, setiap sudut yang berpotensi menyimpan buku ini, saya jelajahi dengan penuh harap. Hingga akhirnya, pada sebuah malam di Taman Ismail Marzuki, dalam hiruk-pikuk pagelaran seni, saya menemukannya di kedai buku milik Jose Rizal Manua. Hanya satu eksemplar tersisa, dan harganya lebih mahal dari harga buku baru. Tapi harga bukanlah masalah. Saya tahu, saya harus memilikinya. Dengan tangan gemetar, saya menggenggam buku itu sebuah harta karun yang akhirnya saya temukan setelah perjalanan panjang.
Setebal 700 halaman, Arus Balik saya lahap habis dalam tiga hari. Buku ini bukan sekadar kisah, tetapi perjalanan spiritual yang membawa saya ke zaman Majapahit. Pramoedya menuliskannya dengan begitu gagah, menghidupkan kembali kebanggaan sebagai bangsa yang pernah berdiri tegak sebagai kekuatan besar di Nusantara. Ia menuliskan sejarah bukan dengan tinta, tetapi dengan darah dan nyala api perjuangan. Membaca Arus Balik membuat saya yakin bahwa bangsa ini bukan bangsa kecil yang bisa diremehkan. Kita adalah pewaris peradaban besar, dan tugas kita adalah menjaga agar semangat itu tetap menyala.
Satu abad setelah lahirnya Pramoedya Ananta Toer, saya berharap api perjuangan yang ia nyalakan tidak akan pernah padam. Kita butuh lebih banyak penulis yang berani, yang tidak takut bersuara, yang sanggup menggugah hati pembaca untuk mencintai kemanusiaan dan menyalakan kembali semangat kebangsaan. Jangan biarkan suara-suara besar seperti Pramoedya hilang ditelan zaman. Mari kita terus membaca, menulis, dan berjuang, karena kata-kata adalah kekuatan, dan sejarah adalah medan tempur yang harus kita menangkan.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI