Menjelang awal tahun 2025, isu kenaikan Pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi perbincangan hangat. Disinyalir akan ada kenaikan PPN sebesar 12% yang memicu kegelisahan di tengah masyarakat Indonesia. Di tengah-tengah kelesuan ekonomi, kebijakan ini dianggap oleh para ahli ekonomi dan para pakar lainnya kurang memihak kepada masyarakat. Sebaliknya, masyarakat berharap agar pemerintah lebih fokus pada penghematan anggran pengeluaran negara. Â Akibat kegaduhan ini, tersebarlah isu akan terjadi potensi demonstrasi secara besar besaran, jika ini terjadi tentu saja akan mengancam stabilitas dalam era pemerintahan yang baru ini. Akan tetapi, di balik isu PPN ini ada ancaman PPN yang tidak kalah berbahanyanya di kalangan masyarakat Indonesia, yakni PPN (Pola Pikir Negatif).
Pola pikir negatif adalah kecenderungan untuk memandang segala sesuatu dari sisi buruk atau mengantisipasi hasil yang mengecewakan. Fenomena ini semakin sering terlihat di Indonesia, baik dalam bentuk pesimisme terhadap perubahan, kritik destruktif di media sosial, maupun ketidakpercayaan terhadap pemerintah dan institusi publik. Jika dibiarkan, pola pikir ini dapat memberikan dampak yang lebih luas dibandingkan sekadar kenaikan pajak.
Budaya Indonesia yang kaya akan norma tradisional dan hierarki sosial sering kali menciptakan tekanan sosial yang signifikan. Meski dimaksudkan untuk menjaga harmoni, norma-norma ini kerap membatasi kebebasan individu untuk berinovasi dan berekspresi, sehingga menimbulkan rasa frustrasi dan pesimisme. Di era digital, media sosial menjadi katalis utama penyebaran pola pikir negatif. Algoritma yang memprioritaskan konten sensasional memancing emosi negatif seperti kecemasan dan kemarahan, yang dengan cepat menyebar ke berbagai lapisan masyarakat.
Ketidakpastian ekonomi dan politik juga menjadi pemicu utama pola pikir negatif. Ketidakpercayaan terhadap masa depan sering diperburuk oleh berita hoaks yang menciptakan rasa takut dan kebingungan. Di sisi lain, sistem pendidikan yang masih menekankan hafalan dibandingkan pengembangan pemikiran kritis membuat masyarakat kurang siap menghadapi tantangan, sehingga lebih rentan terhadap pesimisme.
Pola pikir negatif memiliki dampak yang serius. Pada tingkat personal, hal ini dapat memicu gangguan kesehatan mental seperti stres, kecemasan, dan depresi. Produktivitas individu juga menurun, dan motivasi untuk mencapai sesuatu yang lebih baik semakin hilang. Secara sosial, pola pikir negatif menghambat kolaborasi dan menurunkan tingkat kepercayaan antarindividu, yang terlihat jelas dalam maraknya cyberbullying dan ujaran kebencian di media sosial. Di dunia bisnis, ketakutan akan kegagalan sering menghalangi keberanian untuk berinovasi, menghambat kemajuan ekonomi.
Untuk mengatasi fenomena ini, langkah strategis sangat diperlukan. Pendidikan harus diarahkan pada pengembangan pemikiran kritis yang konstruktif, dengan penekanan pada solusi dan pengelolaan emosi. Pemerintah dan organisasi masyarakat perlu menjalankan kampanye kesadaran publik yang mempromosikan optimisme dan literasi digital, guna mengurangi penyebaran konten negatif. Selain itu, menciptakan peluang ekonomi yang inklusif dapat memberikan kepercayaan diri kepada masyarakat untuk meraih masa depan yang lebih baik. Di tingkat komunitas, ruang-ruang yang mendukung berbagi pengalaman positif dapat menjadi sarana penting untuk mengubah pola pikir negatif menjadi optimistis.
Isu kenaikan PPN secara ekonomi memang menjadi tantangan tersendiri, tetapi ancaman pola pikir negatif tidak boleh diremehkan. Dengan pemahaman yang mendalam dan pendekatan holistik, Indonesia dapat menciptakan masyarakat yang lebih optimis, inovatif, dan produktif. Dalam perjalanan ini, kolaborasi erat antara individu, institusi pendidikan, pemerintah, media, dan komunitas menjadi kunci kesuksesan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H