'Aku tunggu di meja makan, ya, Sayang!'
Ada yang salah dengan kalimat itu, setidaknya menurutku. Jika ia hanya bersandar badan pada benda berkaki empat terbuat dari kayu jati tua dengan harga selangit itu, sudah barang tentu ia tidak akan melihat jerih payahku meredam emosi selama menyulap nasi putih menjadi nasi goreng ini. Padahal, ia hafal sekali betapa aku tidak suka dengan nasi goreng. Parahnya, ia sengaja melakukan ini agar aku mulai menyukai apa yang ia suka. Akibatnya, tiap malam aku mempunyai tugas khusus membuatkan seporsi nasi goreng di luar tugas khusus lain yang tak perlu aku sebutkan. Mulai hari ini!
Kini, nasi goreng itu hampir matang. Warnanya mencoklat akibat senyawa dalam kecap yang kutuang sudah berkapilarisasi ke permukaan butir nasi. Ada warna kuning pucat membentuk gumpalan tak sempurna dari sebutir telur, tidak keras juga tidak lembek. Ada butiran kacang polong hijau tua, begitu mencolok diantara warna pucat yang ditimbulkan oleh perpaduan nasi dan telur. Lalu, ada juga potongan kecil-kecil menyerupai kubus berwarna orange – wortel – yang entah aku tidak tahu khasiat apa yang tertera di sana ketika dicampurkan dalam nasi goreng. Jangan-jangan fungsi wortel ini hanya untuk menyamarkan warna pucat si nasi agar terlihat lebih meriah.
Sayang, menurut radar yang tertangkap hidungku, hanya ada aroma monosodium glutamat begitu mendominasi menu ini. Aku tak bisa mendeteksi kenikmatan lain baik secara implisit maupun eksplisit di dalamnya. Mungkin syarafku sudah didesain untuk tidak merespon objek satu ini. Mungkin daya tahan tubuhku terlalu baik sehingga aku terlalu kebal, bahkan selalu mendeteksi makanan ini sebagai racun. Atau jangan-jangan, mungkin aku membutuhkan indra keenam agar aku bisa meloloskan jenis menu ini masuk ke mulutku.
Dalam benakku, terbersit rasa ragu untuk menuang nasi goreng ini dalam piring saji yang kusiapkan. Sementara laki-laki itu, sudah bertengger di kursi ruang makan, siap menghakimi masakanku yang - ah, hampir seperti campuran sisa-sisa makanan di restoran yang menyumbat wastafel lalu ditata dalam piring ceper buatan China.
Sebegitu dalam aku mencitrai negatif si malang nasi goreng ini. Ya, itu bermula saat aku kecil, ketika aku makan di suatu rumah makan besar, ramai pengunjung, enak, dan cukup murah. Saat itu, aku tak sengaja mementalkan bola bekel baru yang sedang kugenggam. Bola itu menggelinding ke seberang tempat kami memposisikan diri. Aku menyesal dan memperlihatkan muka memelas agar aku dibelikan lagi. Kupikir tidak mungkin mengambil bola itu, walau aku tahu bola itu tidak hilang, hanya berpindah ke suatu tempat. Aku merengek di depan ibu saat ia sedang menikmati daging yang menempel di tulang-tulang ikan bakar di piringnya. Melihat itu, ayah menyuruhku mencari bola bekel itu sendiri, sampai ketemu. Harus ketemu! Aku mendelik marah, dan bersumpah aku akan menemukan bola bekel itu.
Aku tantang diriku untuk mengetuk pintu yang terbuka di sebuah ruang. Ada beberapa orang sedang terbahak di sana, membicarakan suatu bahasan orang dewasa yang aku tak terlalu ingat - apa itu. Ada suara laki-perempuan di sana. Tepat saat aku mengucap kata ‘permisi’ mereka diam, memandangku janggal, begitupun aku. Aku meminta ijin untuk mengambil bola bekel yang sudah kuintai sebelumnya, bahwa si bola ada di bawah rak meja satu-satunya di pojokan ruang. Mereka mengijinkanku masuk, lalu tak menggubrisku, malah melanjutkan percakapan mereka. Lagi! Suara-suara kembali memenuhi ruang.
Ketemu! Aku mengambil bola bekel cokelat bening itu secepat mungkin. Selanjutnya, ingin kuucapkan kata terimakasih sebelum pamit, namun kuurungkan. Percuma, mereka seolah tidak menyadari keberadaanku. Spontan aku melenggang tanpa dosa. Aku agak mempercepat langkah-langkahku hingga hampir menabrak seseorang. Orang itu sedang membungkuk ke tong sampah. Menuang sesuatu dari ember plastik kumal berisi cairan kental seperti bubur, becek, meleler. Sepintas kudeteksi, objek itu terdiri dari campuran nasi, tulang ayam, sayur-mayur, putung rokok, tissue, dan sisa-sisa makanan lain. Sebetulnya aku tidak ingin muntah hanya gara-gara ini, tapi sejak itu aku tidak suka dengan makanan yang dicampur-campur, ya, misalnya nasi goreng ini. Aku selalu makan dengan piring yang bersih dan rapi. Nasi bersebalahan dengan lauk di pinggir, tidak menyatu, dan sekali lagi tak suka kuaduk-aduk. Aku pun selalu makan urut dari pinggir, serta mengusahakan agar tatanan nasi dan lauk tidak pecah. Caraku makan sangat elegan, pelan, sedikit demi sedikit sampai habis. Dan yang paling mengagumkan, bekas piringku selalu tetap bersih, tidak berserak.
Entah kenapa nasi goreng yang aku pegang ini menjadi satu-satunya menu misterius yang aku belum bisa memakannya. Bahkan, untuk sekedar mencicip pun aku tak sudi. Aku merasa tidak bersahabat dengannya entah sejak kapan dan sampai kapan.
Baiklah, piring ini sudah cukup manis dengan nasi goreng kucetak dengan cetakan mangkuk kecil, kuletakkan tepat di tengah piring. Di pinggirnya, kutaruh tomat dan mentimun yang kupotong tipis-tipis. Tak lupa kutaburi sedikit bawang goreng diatas nasinya. Sudah mirip dengan gambar di katalog resep masakan yang aku beli.
Aku memberanikan diri meninggalkan dapur menuju ruang makan. Ia menyambut kedatanganku dengan senyum tipis tanpa ada tendensi lebih dari sekedar memintaku menyerahkan diri di ranjang setelah ini. Tatapan manisnya hanya sedang dituggangi rasa lapar. Aku tahu, karena ia baru saja selesai berkutat dengan pekerjaannya sehari full, di hari pertama setelah cuti panjangnya.