[caption caption="sumber gambar: google"][/caption]
KETIKA berumah tangga itu diibaratkan berproses memasak, sudah tentu aku akan menjadi aktor pemasak itu. Sialnya, ia kebagian peran sebagai eksekutor bagi setiap masakanku. Nyawaku seolah digantung pada selera lidahnya. Sementara lidah laki-laki itu hanya mendeteksi rasa sesuai suasana yang sedang menguasai moodnya. Saat mood di atas, lidahnya sehat, masakanku dinilai objektif. Sebaliknya, saat mood di bawah, lidahnya bagai pedang, bisa mengiris-iris bahan masakanku sebelum sempat kumasak. Aku harus siap mati kapan saja.
Dulu sebelum menikah, aku hampir selalu gagal setiap kali mencoba memasak. Tidak berasa, tidak matang, terlalu asin, gosong, semua pernah kualami. Salah takaran, kurang mencermati titik didih bahan, sering buru-buru, tidak melakukan riset atau pengamatan adalah daftar masalah yang menyebabkan kegagalan prosesku memasak. Tapi yang paling parah adalah masalah jam terbang.
Suatu ketika, aku diejek oleh kakak sulung perempuanku. Ia begitu iri melihatku lebih santai sementara pekerjaan rumah dominan ia lakukan. Ayah-ibu bekerja untuk menghidupi lima anak yang belum mandiri - kesemua masih sekolah. Jadi, pekerjaan seperti memasak, mengepel, cuci piring, cuci baju, juga setrika nyaris ia lakukan seorang diri. Aku, si bungsu ini masih kelas empat SD, memiliki banyak alasan untuk tidak ikut membantu, masih kecil, lagi banyak PR, harus buru-buru berangkat les, dan secara kebetulan belum diperbolehkan ibu menyentuh barang-barang dapur terutama kompor. Sementara itu, kakakku yang lain berjenis laki-laki. Maka, kakak sulungku itu benar-benar menjadi pemeran pengganti tunggal selama ibu bekerja. Tiap ia kesal, ia melontarkan umpatan bernada mengejek, ‘mau jadi apa perempuan gak bisa masak,’ dengan harapan aku mau membantu memasak, minimal menyiapkan dan memotong sayur, atau mengulek bumbu-bumbu masakan.
Ketakutanku akan umpatan kakakku itu kupendam beberapa saat. Setelah mendapat kesempatan di waktu yang tepat, aku memberanikan diri mengadu pada ibu tanpa sepengetahuan si sulung. Ibuku yang bijak ini memberikan jawaban atas aduanku, ‘kamu akan bisa memasak setelah menikah, asal kamu rajin mencoba, lama-lama kamu juga lihai, dulu pun ibu tak bisa memasak.’ Sejak saat itu, aku seakan punya senjata untuk melawan umpatan kakakku. Aku menjadi makin bebal dan enggan membantu meringankan pekerjaannya. Buat apa buru-buru belajar masak kalau nikahnya masih belasan tahun kemudian. Aku lebih suka bermain dengan kakak laki-lakiku, bermain ketapel, memburu layang-layang putus, memunguti jambu air jatuh di kebun tetangga, hingga mengoleksi kwartet dan kartu domino yang kami peroleh di belakang pasar - ̶sarang perjudian di sekitar kompleks kami. Aku tumbuh sedikit culas, suka membantah, suka iseng, jahil sejahil-jahilnya hingga kadang aku tega mengambil jemuran kutang milik kakakku lalu mengembalikannya ke ember cucian kotor. Aku tumbuh berbeda dari anak-anak lain sesusiaku yang lebih senang menonton Doraemon atau Ksatria Baja Hitam, karena aku lebih suka menonton serial Mahabarata dan telenovela Maria Mercedes - sedini itu. Ironisnya, belakangan baru kusadari, dari tontonan itulah pola pikirku terhasut. Aku menjadi pribadi yang suka mempermasalahkan suka atau tidak suka tanpa mempermasalahkan baik atau buruk. Seperti yang dicontohkan dalam serial-serial yang kerap mempertontonkan peperangan dan percintaan itu. Aku merasa kehilangan masa-masa kepolosan seorang anak. Aku dewasa sebelum waktunya.   Â
'Nasi gorengku mana, Sayang?'
Dia mulai melipat kedua sikunya membentuk tangan bersedekap lengkap dengan senyum tawar saat melihat meja makan masih bersih. Aku sengaja menyisihkan beberapa menit untuk membersihkan meja hingga berkilap sebelum bertempur di dapur penuh konsentrasi. Dengan bantuan sepercik cairan pembersih kaca, meja itu cukup mudah berubah penampilan. Satu mukjizat terselubung, dan aku harus berikan pujian buat vendor sabun dan semacamnya atas ini. Baru setelahnya aku kembali ke dapur.
Nasi goreng pesanannya masih berjejal di atas wajan. Meletup-letup kepanasan yang berpusat di pantat wajan dan menyebar ke permukaan. Letupan itu menyebabkan sensasi loncat-loncat pada beberapa butir nasi. Aku menghindari setiap loncatan yang diikuti bunyi ‘pletak’ mirip petasan banting dengan sedikit menarik tubuhku ke belakang. Mukjizat kembali menghampiri, aku selamat dari cipratan butir-butir nasi yang berpeluang menghantam wajahku, yang berdimensi panas nyaris sederajad dengan bara api.
Buru-buru aku menjawab pertanyaan mahapentingnya dengan sepenggal kalimat klise, ‘Belum, Sayang,’ secepatnya ia membalas dengan sedikit gurat kecewa, senyum datar persis melukis wajahnya yang nyaris sempurna. Itu sekaligus menjadi alasan mengapa aku berselaras meredam kecamuk marahku pada seporsi nasi goreng ini. Ya, karena itu, karena ia sabar, tidak mudah marah kepadaku.
Mungkin tak ada yang mau percaya seorang nasi-goreng-hater sepertiku bisa berjodoh dengan nasi-gorengmania seperti dirinya. Aku sendiri belum bisa mengoreksi bagaimana perjalanan asmaraku bisa bertemu dengannya, terlebih tiap kubaca kembali sebuah slogan ‘pasanganmu adalan cerminan dirimu’. Menurut teori itu, seorang hater seharusnya bertemu hater, begitu juga dengan lover. Jika aku seorang hater nasi goreng seharusnya aku bertemu spesies sejenisku bukan malah berjodoh dengan dirinya.
Kasusku ini sudah seperti bantahan atas slogan yang pernah beredar itu. Sayang sekali bantahan ini tidak akan mendapat sorotan, karena temuan teori itu lebih dulu ada, sebelum hubungan asmara kami terjalin. Slogan itu terlanjur mendunia, mungkin mengakhirat. Jadi, segigih apapun aku memperjuangkan bantahan itu, tetap tidak akan mengubah teori yang pernah ada. Ya sudah, aku tinggal menjalani peranku sebagai hater dan dia harus menerima kenyataan dengan menjadi lawan abadinya sebagai lover  ̶- nasi goreng.