Mohon tunggu...
Arrum
Arrum Mohon Tunggu... -

berkarya itu sebagian dari kemerdekaan...(seharusnya)...

Selanjutnya

Tutup

Bahasa

Bahasa Menunjukkan Bangsa #12

18 Juli 2010   15:09 Diperbarui: 26 Juni 2015   14:46 584
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ono Rego Ono Rupo -> Ono ego Ono upo

Ono rego ono rupo (ada harga ada wujud) atau kalau ditafsirkan secara bebas dalam bahasa Indonesia berarti ada harga ada kualitas, banyak kita dengar di pasar pasar atau di situs situs perbelanjaan. Semboyan ini telah lama tenar. Tidak ada yang tau kapan awal mula semboyan ini muncul. Bahkan tidak ada yang tau siapa yang mencetuskan semboyan ini. Yang jelas sangat tegas dikatakan bahwa sesuatu makin tinggi kualitasnya maka harga atau nilainya pun makin tinggi.

Kiranya tidak ada yang tidak sepakat dengan rentetan kata ini. Setiap kalangan sepakat dengan ini. Dalam arena perdagangan pihak penjual akan menawarkan barang dagangannya dengan berbekal dalih ini.

Contoh konkritnya: suatu ketika saya mendatangi petani mitra saya di kebun melonnya yang cukup luas. Petani berskala besar tersebut sedang menanam benih Melon jenis A yang konon kualitasnya paling unggul. Harga benih tersebut memang mahal tapi harga jual buah yang dihasilkan nantinya juga mahal. Dengan kualitas rasa manis yang boleh dibilang tak tertandingi, melon jenis A ini banyak disukai oleh konsumen. Dengan dalih ono rego ono rupo itu pula konsumen akan memilih melon jenis A ini (jika konsumen itu memang mementingkan kualitas).

Adanya semboyan ini justru menjadi kekuatan besar bagi petani untuk meraup untung sebesar besarnya. Mereka mencari jalan agar supaya biaya produksi murah meriah namun keuntungan besar. Triknya, mereka menanam melon B yang serupa (bentuknya mirip) dengan A namun harga benihnya murah (kualitas??). Saat dijual mereka mencampur aduk melon melon tersebut sehingga akan terlihat sama atau sejenis. Masalah harga, mereka akan mengikuti harga melon jenis A yang lebih mahal.

Kalau petani jual melon ini ke pedagang apakah pedagang tau? Jawabannya bisa iya bisa tidak. Iya bagi pedagang yang pintar dan tau benar tentang jenis jenis melon. Dan tidak bagi mereka pedagang yang asal dapat barang dan langsung laku dijual.

Entah kenapa kalau di pasar sering tidak ditemui melon jenis A atau B. Rupanya pasar pun menyulap nama A dan B menjadi nama baru yang dikenal dengan istilah nama dagang misalnya ”bla bla”. Ada dua kemungkinan besar yang mendasari penggantian nama tersebut. Yang pertama mereka takut ketahuan produsen benih bahwa itu bukan produknya ketika mendapati 2 jenis yang di campur tersebut dilabeli dengan nama salah satu dari 2 jenis itu. Kemungkinan yang kedua, mereka memang tidak ingin menjatuhkan produsen benih bila konsumen komplain rasa tidak sesuai sampel.

Dengan dalih ono rego ono rupo mereka menjual melon melon tersebut dengan harga tinggi. Triknya, mereka memilih melon jenis A sebagai melon yang dicicip oleh calon pembeli. Pembeli mana yang tidak aka percaya bila sudah mencicipi. Padahal yang mereka beli belum tentu melon jenis A (karena telah dicampur dengan melon B). Mereka tak akan pernah tau karena mereka akan membongkar melon itu di rumah dan tidak akan mungkin bisa dikembalikan.

Sebagai catatan, setiap jenis melon memiliki ciri khas masing masing. Dan itu sudah ada tandanya alamiahnya (anda harus percaya ini), beberapa penjual sudah hapal dengan hal ini. Jika anda tak mengenali betul jenis jenis itu anda akan tertipu mentah mentah, harga mahal padahal kualitas murahan.

Tampaknya semboyan ono rego ono rupo hanya dijadikan doktrin bagi pembeli agar mereka mau membeli dengan harga tinggi, padahal kualitas dipertanyakan. Apakah bangsa kita akan seperti ini untuk selamanya?

Tapi mereka punya alasan lain ketika melakukan itu. Yaitu alasan yang sangat ironis ”ono ego ono upo” (ono = ada, upo = nasi) yang artinya bila kita sedikit mengedepankan ego (kepentingan pribadi, dalam hal ini mengambil keuntungan dengan merugikan orang lain) maka kita akan makmur (nasi melambangkan kemakmuran). Mari kita lihat kenyataan ini dan berhentilah terpedaya dengan semboyan ono rego ono rupo, karena semboyan itu telah bergeser menjadi ono ego ono upo (mungkin pas ngetik ono rego ono rupo kurang huruf ”r” kali ya).

Salam paradoks

Catatan: maaf, temanya tadi kurang lebih ”Paradoks Bahasa Indonesia” ya, tapi disini banyak saya gunakan bahasa jawa, karena saya pikir masih ”kurang-lebih”...hehe...eh tapi judulnya kan ”Bahasa Menunjukkan Bangsa #...” kan?...sekali lagi mohon dimaafkan...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun