Jika Tak Belajar Masak
“Aduh… mbak Risa ini gimana sie, kan dalam hadist Rasulullah mengatakan menikahlah karena kecantikan, kekayaan dan agama. Nah, dalam hadist itu tidak ada kriteria harus bisa memasak atau membuat makanan. Iya nggak?” sanggah Ine dengan gaya bicaranya yang khas. Gaya kereta api ekspres.
“Iya, betul. Terus kalau jadi menikah dengan mas Ai’mu itu, yang masak siapa?” Risa tak mau kalah, dia mencoba memberi pengertian kepada adik bungsunya itu bahwa belajar memasak adalah penting.
“Kan kriterianya tadi, kaya. Jadi makanannya ya beli aja. Restoran banyak, jajanan juga sepanjang jalan ada” Ine tersenyum penuh kemenangan.
Risa menggeleng-gelengkan kepalanya, lalu dengan gemas dia mengambil buku novel yang sedang di baca Ine. “Ayo, tidak alasan ada atau tidak dalam hadist. Sekarang bantu mbak masak di dapur!”.
“Yaaah.. mbak, tanggung nih. Bentar lagi selesai satu bab. Lagian enakan baca dari pada masak. Memasakkan tugas mbak Risa. Mbak, novel Ine jangan dibawa lari dong..” Ine mengejar Risa yang berlari membawa novelnya menuju dapur.
“Kembalikan novel Ine, mbak..” pintanya.
“Ayo, duduk dulu” Ine pun duduk. Risa mengembalikan novel itu sambil menasehati adik bungsunya. ”Ine, apa salahnya sih, belajar masak. Kamu kan doyan makan, jadi harus doyan bikin makanan juga”.
“Yaaah, Ine kan nggak biasa mbak. Sangat tidak terbiasa dengan dapur yang panas, pisau yang tajam, letupan minyak, bumbu yang bau, dan lain-lainnya. Kalau bisa beli kenapa harus masak?” Ine masih bersikeras.
“Ine, tidak selamanya kita punya uang. Mungkin nanti ada masanya kita tidak mampu membeli makanan siap saji. Lagi pula nggak peduli cantik, jelek, miskin, kaya, beragama atau ateis sekali pun, yang namanya perempuan harus bisa masak! Kenapa? Karena perempuan adalah calon ibu dari anak-anak yang butuh makan!” Melotot mata Risa saat mengatakannya.
”Wah.. pagi-pagi sudah ada angin ribut” sela Firman.
”Mas Fir, perempuan mana yang mas Firman pilih. Cantik tapi tidak bisa masak atau jelek tapi pintar masak?” tanya Ine serius.
”Mmmm, mas Firman pilih jelek tapi pintar masak.” jawab Firman. Wajah Ine berubah cemberut mendengarnya.
”Buat apa cantik tapi nggak bisa masak. Wah, bisa kelaparan kita” lanjut Firman sambil memukul-mukul perutnya.
Ine mendekap bukunya, lalu berlari dengan kesal. Firman hanya terbengong-bengong dibuatnya. ”Mbak Risa, Ine kenapa sih, omongan Firman ada yang salah?”
”Ine itu masih bersikeras tidak mau belajar masak, katanya perintah memasak tidak ada dalam hadist, Rasul bersabda menikahlah dengan wanita yang cantik, kaya, beragama. Tidak ada disebutkan menikahlah dengan wanita yang bisa memasak” jelas Risa.
”Memang, Ine itu orang yang kuat pendirian, cerewet tapi cerdas. Mmmm, itu salah mbak Risa juga, kenapa tidak dari kecil Ine dikenalkan dengan dapur? Coba, sudah besar begitu, sudah mau wisuda, sudah mau menikah lagi, tapi alergi ke dapur”.
”Mau gimana lagi Fir, keadaannya seperti ini, kalau mau disalahkan, ya salahkan ibu...” Risa membela diri.
Firman terdiam. Suara tempe yang menyentuh minyak panas terdengar seru. Firman memperhatikan Risa yang sedang menggoreng tempe, dengan pandangan haru. Bagaimana Kalau tidak ada Risa? Risa adalah kakak sekaligus ibu sekaligus ayah bagi Firman dan Ine.
Risa, Firman dan Ine adalah korban perceraian. Sewaktu Ine baru berumur lima tahun orang tua mereka berpisah. Risa sudah berumur sebelas tahun, sedang Firman satu tahun diatas Ine. Mereka diasuh bapak sampai Ine SMP. Lalu bapak menikah lagi dan tinggal bersama istri barunya. Ibu mereka pun menikah lagi bahkan hanya selang setahun setelah perceraian dengan pengusaha kaya. Praktis Risa sebagai anak tertua menggantikan tugas ibu. Namun sekarang mereka sudah mandiri, Risa bekerja sebagai apoteker dan Firman seorang wartawan sedang Ine menunggu wisuda sarjana arsitektur.
”Wah, tempe goreng enaknya dimakan sama sambel kecap nih. Firman deh yang buat sambelnya, ada cabe rawitnya mbak?” Firman mencoba mengalihkan pembicaraan.
”Ada, cari di kulkas” Risa pun menyibukkan diri, berusaha menyelesaikan pekerjaannya di dapur dengan cepat. Ada sedikit rasa bersalah di hatinya. ”Mungkin memang salahku sehingga Ine tidak suka bekerja di dapur. Mungkin karena aku suka melarangnya untuk kedapur waktu dia kecil” batin Risa.
”Nah, beres sudah. Tenang Mbak Risa, Ine pasti tidak bakalan ngambek lagi kalau diberi tempe goreng plus sambal yang uenak ini” ujar Firman sambil mendekatkan sepiring tempe itu ke hidungnya. Risa tersenyum. Yang laki-laki malah lebih oke di dapur. ”Aromanya sungguh menggoda selera ” lanjut Firman.
”Oya? Tapi apakah Ine juga akan tergoda?”
”Ine, memang tidak akan tergoda dengan aroma dapur. Tapi dia akan sangat respon dengan aroma makanan. Lihat saja...” Firman melangkah ke kamar Ine dengan mantap.
”Ine.. Ne! Buka dong pintunya, ini Mas Firman bawakan hadiah kesukaan Ine” Karena tidak ada jawaban, Firman pun membuka pintu.
”Ine.. Ne! Kok tidur sih! Bangun, ini kan masih pagi?! Mentang-mentang hari Minggu. Ne..!” Firman mengguncang-guncang tubuh Ine.
”Hmmm... Aduh, Mas Firman ganggu aja, mau apa sih?!”
”Hei, anak perempuan tidak boleh malas. Pagi-pagi harusnya beres-beres rumah, nyapu, ngepel, masak, bukan malah molor”
”Kalo mau ceramah nanti aja deh, siangan dikit. Mas kan laki-laki, tenaganya kuat. Jadi Mas saja yang nyapu, ngepel, beres-beres, nanti kalo udah selesai baru Ine bantuin” Jawab Ine tanpa membuka matanya.
”Dasar manja! Kalau sudah beres untuk apa dibantuin?! Ine.. Ine... bangun dong, ini Mas bawain makanan, mau nggak?”
Ine membuka sebelah matanya, lalu sebelahnya lagi. Dilihatnya Firman mencocol tempe ke dalam sambal kecap, lalu melahapnya sambil mengerling ke arahnya. Ine sedikit melengos.
”Enak, Ne. Jauh lebih enak ini dibanding buatan gorengan pinggir jalan atau bahkan buatan restoran mewah.” Firman mengunyah dengan semangat. Akhirnya Ine ngiler juga, tidak tahan dia untuk tidak ikut mencicipi tempe itu.
”Enak kan Ne? Ini dia yang bisa membuat suami betah di rumah”
Ine melotot, mengunyah dengan cepat lalu berdalih. ”Please deeeh.. Mas Firman, pernah dengar nasehat yang menyarankan untuk menyerahkan segala sesuatu kepada ahlinya? Kalau yang mengerjakan bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya. Gitu Mas, jadi jangan suruh Ine untuk memasak, Ine bukan ahlinya”
”Berdebat dengan kamu memang tidak ada gunanya”
”Lho, benerkan kata Ine, Mas? Itu teori yang sangat sahih dan sangat diyakini kebenarannya. Kalau yang mengerjakan bukan ahlinya kan bisa kacau?” Ine masih tidak mau kalah. ”Jadi suruh Ine menggambar sketsa bangunan saja ya”
”Dasar, mentang-mentang arsitek! Mas Firman sih cuma kasian sama Faiz alias Mas Ai’ mu itu kalau dia jadi menikah dengan kamu”
”Kasian? Kenapa?”
”Iya, kasihan kan Faiz harus sarapan kertas-kertas sketsa rancang bangun. Mana kenyang Ne” jawab Firman sambil meninggalkan kamar Ine.
”Iiiih Mas Firman!” Ine meraih bantal dan melemparnya ke arah Ine, sayang meleset. Merasa tidak puas, Ine mengambil bantal itu lagi lalu mengejar Firman. Firman bergegas membuka pintu samping lalu ke luar menuju halaman depan.
Langkah Ine terhenti, mematung didepan pintu. Walau Ine gadis yang agak urakan, tapi dia tidak mau keluar tanpa menutup aurat dengan sempurna. Ine tidak akan keluar dengan hanya menggunakan baju tidur tanpa berjilbab. Walaupun hanya di pekarangan, teras rumah, bahkan hanya selangkah dari pintu, dia harus mengenakan baju muslimah lengkap.
Ine berbalik kembali ke kamarnya. Tersenyum melihat piring yang masih berisi beberapa potong tempe goreng. Lalu dipindahkannya tempe itu ke perutnya sampai selesai.
Tergopoh-gopoh Ine menuju ruang dosen pembimbingnya. Semalam handphonenya bergetar, lalu suara Pak Rustam dengan merdu mengabarkan bahwa Ine dapat proyek. Karena kelewat senang Ine sampai tidak bisa tidur. Walhasil subuh kesiangan, padahal Pak Rustam minta dia datang sebelum jam pertama mengajar di mulai. Terengah-engah nafas Ine sambil mengucap salam ”Assalamu’alaikum, Pagi Pak Rustam”
”Wa’alaikum salam, masuk Ne. Ayo duduk. Kita langsung ke pembicaraan pokok” Pak dosen yang satu ini memang tidak suka basa-basi. To The Point.
”Karena Ine adalah mahasiswa yang lulus dengan nilai fantastis, jadi bapak memilih kamu untuk proyek ini. Bapak memerlukan bantuanmu untuk merancang sebuah cafe muslim. Cafe ini akan berdiri di lahan yang strategis dengan bentuk tanah L”. Penjelasan ini membuat Ine terbengong-bengong.
”Bapak tidak salah orang?” tanya Ine bingung.
”Tidak, Bapak yakin kamu mampu. Ini kerja bukan gratis. Tapi rancanganmu itu akan dihargai. Akan di bayar. Dan bayarannya termasuk besar” datar suara pak Rustam, tapi bagi Ine ini bagai gelombang laut yang dahsyat. Wah belum wisuda sudah dapat proyek.. ”Hore... ! Alhamdulillah..” batin Ine.
’Tok... tok...’ terdengar suara pintu di ketuk. Seorang lelaki gagah dan ganteng muncul. Sesaat Ine terpesona melihatnya, lalu buru-buru menundukkan pandangan. ”Subhanallah gantengnya... lebih ganteng dari mas Faiz” batin Ine.
”Ini dia yang ditunggu-tunggu, masuk Wan. Duduklah” Laki-laki itu pun duduk persis dihadapan Ine disebelah Pak Rustam.
”Ine, ini Iwan pemilik cafe yang akan kita disainkan. Iwan, ini Ine arsitek yang akan mendisain cafe muslim” Jantung Ine berdegup tak teratur, sepertinya ada sesuatu yang salah pada aliran darahnya sehingga membuat tubuhnya mendadak tak nyaman. Sedang Iwan menatapnyatersenyum.
”Ternyata arsiteknya, seorang gadis cantik. Saya Iwan” dia memperkenalkan diri.
”Saya belum di wisuda, jadi belum pantas disebut arsitek” ujar Ine sambil berusaha menenangkan hatinya.
Mereka pun berbicara serius. Merencanakan disain cafe muslim. Sesekali Iwan memuji Ine yang memang brilian dalam hal ide rancang bangun. Genta cinta berkumandang di telinga Ine, gemuruhnya seperti harpa yang dipetik dengan keras. Dan pembicaraan pun menemui kesepakatan.
Keluar ruangan, Iwan berjalan di sisi Ine. ”Saya sangat suka dengan perempuan yang menghargai makanan dan lihai membuatnya serta terampil di dapur. Saya sangat kagum dengan perempuan yang sedang memegang pisau, bergulat dengan bahan-bahan mentah, mengusap peluh akibat panasnya kompor dan menyajikan makanan dengan apik” Iwan memulai pembicaraan.
’Gleeeggg’ Ine seperti mati kutu. Dia sama sekali tidak menguasai ilmu perdapuran. Bahkan dia sangat alergi dengan dapur. Namun lelaki yang saat ini mencuri hatinya itu berbicara tentang dapur! Bagaimana ini?! Ine pun berusaha mengalihkan pembicaraan ke topik ilmu arsitektur. Dan akhirnya berpisah di pelataran parkir kampus.
Ine memutar gas motornya dengan kencang. Dia ingin sekali sampai di rumah bertemu dengan mbak Risa. Sekarang Ine berubah fikiran. Iwan telah merubah pandangannya tentang memasak dan dapur.
Terserah apa kata Mbaknya itu, yang penting Ine akan memohon untuk diajarkan bagaimana cara memasak. Ine bertekad dalam hati tidak akan membantah Mbak Risa dalam hal ini. Ine berjanji akan belajar segala hal mengenai dapur dengan kesungguhan yang nyata. Sehingga apabila bertemu dengan Iwan, Ine lebih siap membicarakan apapun tentang masak dan apa pun tentang dapur. Demi menarik hati Iwan. Ine berjanji akan belajar memasak. ”Mbak Risa tolong daku....” kata suara hati Ine.
”Assalamu’alaikum” Ine mengulang salamnya. Namun tidak ada jawaban. Kemana Mbak Risa? Hari masih siang, apa sudah berangkat ke apotik? Biasanya Mbak Risa berangkat kerja jam 5 sore. ”Mbak Risa, Ine pulang. Buka dong pintunya...” sunyi-senyap, tidak ada jawaban.
Handphone Ine bergetar. ”Ine, mas Firman di Rumah Sakit Yos Sudarso. Cepet kesini, Ne”
”Kenapa Mas Firman di rumah sakit?” belum sempat pertanyaan Ine di jawab, sinyal sudah terputus. Tanpa fikir panjang Ine melaju ke Rumah Sakit. Sesuatu yang buruk terbayang, namun cepat-cepat ditepisnya.
Di Rumah Sakit. Risa tergeletak tak berdaya di ruang Unit gawat Darurat. ”Mbak Risa...” Ine histeris, memeluk Risa sambil menangis pilu. Perawat pun mencoba menenangkannya sambil menasehati agar melepas pelukannya.
Firman meraih tangan Ine. ”Ne, tenanglah... ” Ine berbalik memeluk Firman. ”Mas Firman... ada apa dengan Mbak Risa?” Ine sesenggukan. Butiran air mata berderai memenuhi pipinya, membasahi baju Firman. Firman mengusap rambut adik semata wayangnya itu dengan lembut. Mencoba menenangkan hatinya.
”Ine, sudahlah kita keluar saja dulu, biar tim perawat dan dokter bisa merawat mbak Risa. Ayo kita tunggu diluar” Ine mengangguk. Betapa hati Ine diliputi rasa penyesalan. Sedih yang teramat dalam, membuat tenggorokannya panas dan sendi-sendi tulangnya terasa ngilu.
”Mbak Risa mengalami kecelakaan sewaktu pulang dari pasar pagi tadi. Menurut saksi mata, sebuah angkot menyerempetnya, yang mengakibatkan motor Mbak Risa oleng dan jatuh. Kepala mbak Risa membentur trotoar dan kakinya terjepit motor. Angkot itu sekarang dalam pengejaran polisi” jelas Firman.
”Mas Firman, Ine tidak mau Mbak Risa sakkiitt” Bahu Ine terguncang-guncangmenahan tangis. Firman mengusap air mata Ine, sambil mencoba menahan air matanya sendiri agar tidak keluar.
”Ine..” Firman memegang erat tangan Ine, seolah membagi kekuatan agar ketegaran itu bisa terbentuk. ”Berdo’alah..” nasehatnya, lalu beranjak pergi. Firman menuju musholla rumah sakit dan menumpahkan semuanya di sajadah, memohonkan segala inginnya ke Allah.
Ine duduk lemah disamping Risa, yang telah dipindahkan ke ruangan. Menatap wajah pucatnya yang sendu. Diusap-usapnya rambut Risa dengan sayang. ”Mbak Risa...” air mata Ine meleleh lagi. Betapa hatinya tidak tega melihat balutan perban dikepala dan kaki, jarum infus yang menembus kulit tangan dan matanya yang terpejam.
”Mbak Risa, maafkan Ine. Ine janji akan selalu siap sedia membantu Mbak Risa di dapur. Tetaplah berjuang Mbak, ayo bertahan. Mbak pasti bisa dan pasti sembuh” gumam Ine. Risa terlihat tenang dalam tidurnya, nafasnya yang teratur membuat Ine sedikit terhibur.
Hari beranjak senja. Langit perlahan menyempurnakan malam.
”Pulanglah Ne, sudah malam. Biar Mas Firman yang menunggu. Kamu istirahat saja, nanti malah kamu yang ikutan sakit” saran Firman. Ine menggeleng.
”Kalau begitu, pulanglah sebentar. Bersihkan tubuhmu, ambil pakaian Mbak Risa lalu kamu boleh kembali lagi” Ine diam saja. Namun akhirnya dia mengangguk.
Sampai dirumah, Ine melirik meja makan. Biasanya di meja itu sudah tersedia makanan dari lauk, sayur sampai camilan. Ine menghela nafas panjang. Matanya berkaca-kaca melihat meja makan itu kosong. Betapa saat ini Ine sangat merasakan pentingnya peran Risa sebagai Ibu. Sekilas terlintas kebencian kepada Ibu yang telah tega meninggalkan mereka.
Ine cepat-cepat mandi, sedikit berbenah, mengambil semua yang mungkin diperlukan lalu kembali ke rumah sakit. Angin malam menerpanya sepanjang jalan. Dan sepanjang jalan pula terlihat orang-orang yang menjajakan makanan. Barulah Ine sadar, begitu banyak makanan diperdagangkan, namun tetap saja masakan di rumah yang bisa menggugah seleranya. Uang seperti tidak ada arti di banding dengan masakan Mbak Risa. Sekarang Ine mengerti mengapa Iwan begitu terkagum-kagum dengan perempuan yang terampil di dapur.
Malam itu, Ine dan Firman menginap di rumah sakit.
”Assalamu’alaikum... Firman...” Ine dan Firman serentak menoleh kearah pintu. Faiz berdiri sambil tersenyum. Ine sedikit melengos. Faiz adalah teman Firman sesama wartawan. Dengan nada bercanda Firman menjodohkan Faiz dengan Ine. Tapi sepertinya Faiz menyambut baik perjodohan itu, walaupun Faiz sendiri belum pernah membicarakannya secara langsung pada Ine. Karena itu Firman sering menggoda Ine.
”Wa’alaikum salam. Ai’... gimana sudah ada kabar mengenai angkot yang menyerempet Mbak Risa? Polisi sudah menangkapnya?” tanya Firman.
”Belum Fir... tapi polisi sudah mengetahui nomor plat angkotnya. Sabar saja, pasti tertangkap. Ini aku bawakan makanan. Kalian belum makan kan?” Faiz membuka bungkusan yang dibawanya. ”Mbak Risa belum siuman?” tanyanya lagi.
”Kata dokter, Mbak Risa sengaja ditidurkan agar bisa beristirahat” Jawab Firman sambil mengambil martabak keju yang dibawa Faiz, lalu melahapnya. ”Wah, kamu memang sobat terbaik... ayo Ne, jangan malu-malu, perut kita dari tadi belum diisi” Firman menyodorkan bungkusan itu ke arahnya. Ine tak bergeming, selintas wajah Iwan membayang, dan membandingkannya dengan wajah Faiz. Astaghfirullah...Ine cepat-cepat beristighfar.
Ine menatap martabak itu tanpa selera. Matanya yang bengkak membuat Faiz simpati. ”Aku turut prihatin atas kejadian ini. Aku memang tidak bisa membantu banyak, tapi kalau butuh bantuan aku siap. Jangan terlalu sedih Ne, tetap optimis. Insyaallah ada Allah yang selalu adil pada hambanya dan tidak akan memberikan cobaan diluar kemampuan kita”
Ine tidak menjawab kata-kata Faiz. Hanya tertunduk, menatap sprei biru yang menjadi alas Risa terbaring. Hatinya kacau-balau.
”Ada yang kamu fikirkan Ne?” tanya Faiz lagi.
Ine menghela nafas panjang. Air matanya mulai mengalir lagi. ”Ine ingin Mbak Risa sembuh, Ine ingin belajar memasak dan Ine ingin menyelesaikan proyek disain cafe muslim. Ine takut Mbak Risa pergi...” Ine sesenggukkan. Nafasnya tersengal-sengal. Namun Firman menatapnya heran.
”Kamu ingin belajar memasak sama Mbak Risa?! Tidak salah Ne?” tanya Firman. Ine menatap Firman dengan pandangan serius.
”Tidak Mas, Ine tidak akan membantah Mbak Risa lagi. Ine ingin seperti Mbak Risa... Moga ini tidak terlambat. Ya Allah tolong sembuhkan Mbak Risa” Ine membenamkan wajahnya ke dalam kedua telapak tangannya. Firman memandang Faiz. Faiz bingung tidak mengerti.
”Ine, proyek disain pasti bisa kamu selesaikan. Aku rasa kamu mampu, apalagi arsitek adalah pilihan yang sesuai dengan bakatmu. Aku dan pasti juga Firman bersedia membantu. Mengenai memasak, kamu tidak perlu khawatir. Memasak itu mudah, jauh lebih mudah dibandingkan dengan menghitung susunan batu bata atau balok kayu yang menyusun tiap persegi bangunan. Jauh lebih sulit membuat sketsa rancang bangun dari pada memasak. Kalau kamu mengizinkan, aku akan mengajarkan teknik memasak ala anak kost. Pasti seru, iyakan Fir?”
”Betul, seratus persen betul. Insyaallah Mbak Risa segera pulih dan kita bisa makan makanan buatan Mbak Risa lagi. Tapi sebelum Mbak Risa pulih kita yang akan memasak” Firman mencoba menyemangati.
Ine memandang Faiz. Wajah itu tersenyum tulus. Ine bisa merasakan perbedaan itu dengan wajah Iwan yang baru dia kenal tadi. Iwan suka dengan perempuan yang pandai memasak, namun sepertinya dia tidak bisa membimbing Ine untuk dapat memasak. Karena bagi Iwan memasak adalah lahan bisnis yang menguntungkan dan harus menghasilkan uang. Sedang Faiz memang tidak setampan Iwan, namun kemampuan membimbingnya jelas terlihat. Bagi Faiz memasak bukanlah beban profesi yang harus menghasilkan tapi lebih kepada untuk memenuhi kebutuhan hidup yang bisa dilakukan bersama.
Bibir Ine mulai dihiasi senyuman. Sambil meraih martabak keju, Ine mengusap air matanya. Ine mulai mengerti apa yang dinasehatkan Mbak Risa, bahwa memasak adalah hal penting yang harus dipelajari semua perempuan.
Siapa pun yang akan mendampingi hidup Ine, entah itu Iwan, Faiz atau siapa pun, tetap saja perlu makan. Betapa Ine sekarang sadar bahwa perempuan shalihah adalah perempuan yang mampu menyenangkan suami serta keluarga. Dan menyenangkan keluarga dengan masakan sendiri adalah ibadah yang jika Allah berkehendak akan membuahkan pahala surga. Bukankah ridho suami akan menghantarkan istri ke surga?
”Mbak Risa cepat sembuh ya... Kita pulang ke rumah, kita akan memasak bersama” ucap Ine dalam hati.
Setangkup do’a mengiringi berlalunya malam. Menjelang keesokan hari yang penuh harapan. Musibah tidak selalu memporak-porandakan kehidupan. Namun musibah membuahkan janji di hati.
”Ine.... Ne...” Risa lirih memanggil. Ine yang tertidur di sisi ranjang Risa, membuka matanya.
”Ine... Firman...” panggil Risa lagi. Ine langsung meloncat bangun.
”Mbak Risa...” Ine memeluk Risa dengan uraian air mata bahagia. Ine begitu terharu melihat sinar dimata Risa. Risa tersenyum.
Azan subuh berkumandang. Malaikat-malaikat mengaminkan setiap do’a. Meningkahi setiap peristiwa hidup setiap hamba, yang selalu ingin memperbaiki dirinya. ***
Sekilas Penulis : Dini Irawati dengan nama pena Arroyyan Dwi Andini, ibu rumah tangga dan juga penulis yang telah menghasilkan buku : Curhat Qur’ani, Menulis Bersama Allah terbitan Al Manar. Gigi Sehat Ibadah Dahsyat, Muslimah Cantik Cerdas Di Dapur terbitan ProU Media
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H