Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Revitalisasi SMK Menyongsong Tahun Bonus Demografi 2020-2030

21 September 2016   23:30 Diperbarui: 22 September 2016   09:35 415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi: Kompasiana

Tahun Bonus Demografi

Tahun 2020-2030 Indonesia diperkirakan mendapat hadiah bonus demografi. Pada rentang tahun 2020-2030 negara Indonesia memiliki jumlah penduduk usia Produktif dengan jumlah yang melimpah, yaitu sekitar 2/3 dari jumlah penduduk keseluruhan. Bonus demografi dapat dilihat dengan parameter Dependency Ratio (angka beban ketergantungan) yang cukup rendah, yaitu mencapai 44. Hal ini berarti bahwa dalam setiap 100 penduduk usia produktif (15-64 tahun) hanya menanggung sekitar 44 penduduk tidak produktif. Data Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia tahun 2010 menunjukkan Dependency ratio Indonesia sebesar 50,5. Sementara pada tahun 2015, dependency ratio memiliki angka lebih kecil yaitu 48,6. Angka dependency ratio ini akan semakin kecil lagi pada tahun 2020 hingga 2030, yang akan menciptakan bonus demografi untuk Indonesia.

Bonus demografi yang akan diterima Indonesia tahun 2020-2030, memberi peluang untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Untuk mewujudkan tingkat pertumbuhan ekonomi yang tinggi sangat ditentukan kesiapan pemerintah menyiapkan angkatan kerja yang berkualitas. Kesiapan pemerintah dalam menghadapi bonus demografi tentu akan mendatangkan keuntungan yang besar. Dengan Bonus demografi berarti Indonesia akan mendapati kondisi dimana jumlah angkatan kerja melimpah-ruah. Angkatan kerja dengan jumlah yang besar tersebut jika dapat dikelola dengan baik tentu akan mendorong kemajuan dan pertumbuhan ekonomi negara. Kuncinya terletak pada peningkatan kualitas angkatan kerja yang berdaya saing pada pasar tenaga kerja global.

Saat ini Indonesia memiliki 67 juta anak muda berumur 10-24 tahun. Mereka inilah yang akan menjadi pemimpin dan penggerak pembangunan Indonesia pada fase bonus Demografi tahun 2020-2030. Jumlah anak muda yang melimpah ini juga menjadi incaran tenaga produktif negara-negara maju yang kekurangan anak muda. Sehingga bisa menjadi keuntungan yang besar jika Indonesia mampu merespon permintaan pasar tenaga kerja global (Kompas 29 November 2014, hlm 13).

Revitalisasi SMK

Pendidikan memegang peran kunci dalam memanfaatkan bonus demografi. Kuncinya, lembaga pendidikan yang menyiapkan secara langsung tenaga kerja terampil (SMK) perlu segera di revitalisasi. Melaui Instruksi Presiden Nomor 9 tahun 2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan, Presiden Joko Widodo segera merespon untuk tujuan Peningkatan Kualitas dan Daya Saing Sumber Daya Manusia Indonesia.

Revitalisasi SMK ditujukan kepada para Menteri Kabinet Kerja, Kepala Badan Nasional Sertifikasi Profesi, dan para Gubernur di seluruh wilayah Indonesia. Dalam Inpres Nomor 9 tahun 2016 ini, para menteri, BNSP, dan gubernur ditugaskan untuk:

  • Mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk merevitalisasi SMK guna meningkatkan kualitas dan daya saing SDM Indonesia;
  • Menyusun peta kebutuhan tenaga kerja bagi lulusan SMK dengan berpedoman pada peta jalan pengembangan SMK.

Khusus kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan ditugaskan:

  • Membuat peta jalan pengembangan SMK;
  • Menyempurnakan dan menyelaraskan kurikulum SMK dengan kompetensi sesuai kebutuhan pengguna lulusan (link and match);
  • Meningkatkan kerjasama  dengan kementerian/lembaga, pemerintah daerah, dan dunia usaha/industri.

Yang menjadi pertanyaan, revitalisasi seperti apa dan bagaimana? sehingga SMK nantinya mampu memberikan kontribusi besar terhadap peningkatan kualitas dan daya saing SDM Indonesia di Tahun Bonus Demografi.

Penulis mencoba memberi alternatif lewat artikel seorang Kompasianer yang berdomisili di Amerika Serikat. Namanya ibu Evi Erlinda. Pada artikel berjudul “Tidak Ada UN di Amerika Serikat”, bisa saya kutip sebagian yang bisa dikaitkan dengan rencana Revitalisasi SMK menyongsong Tahun Bonus Demografi.

“Mungkin anda terkejut, ternyata di Amerika Serikat TAK ADA Ujian Nasional (UN). Kemudian anda bertanya, bagaimana menentukan kelulusannya? Jawabnya, cukup pakai nilai rapor. Itu terjadi untuk tingkat pendidikan di SD, SMP dan SMA. Pada kesempatan ini saya hanya akan bicara untuk siswa SMA saja, mengingat pentingnya SMA sebagai tonggak masa depan siswa. SMA di Amerika ada 4 kelas: freshman, sophomore, junior dan senior. Untuk lulus, siswa harus menyelesaikan sekitar 24 kredit (setiap pelajaran ada kreditnya setengah, kebanyakannya satu). Jumlah kredit dan pelajaran tergantung pada tujuan siswa, apakah mau meneruskan ke perguruan tinggi atau mau bekerja. Kalau yang mau bekerja setelah tamat SMA, siswa bisa minta disalurkan ke tempat tempat magang saat kelas 4 (senior), setelah mengikuti mata pelajaran tertentu (komputer, otomotif, kuliner dan sebagainya).”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun