Mohon tunggu...
ARIF R. SALEH
ARIF R. SALEH Mohon Tunggu... Guru - SSM

Menyenangi Kata Kesepian dan Gaduh

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Pendidikan Adalah Kita

24 Mei 2016   02:02 Diperbarui: 26 Mei 2016   08:18 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Ilustrasi : indopos.co.id

Pagi yang penuh aktifitas. Tidak lagi disepikan keadaan. Kalau mau kita peduli dan perhatikan. Melintas depan pagar sekolah, terlihat beberapa siswa masih duduk santai. Ada yang menarik perhatian dan tidak seharusnya dibiarkan. Beberapa siswi duduk menekuk kaki ke atas agak dilebarkan (duduk mengangkang). Sedangkan beberapa siswa duduk bersila di pinggir badan jalan. Orang yang lalu lalang membiarkan. Juga beberapa guru yang lebih dulu datang tidak mempedulikan. Ini adalah pembiaran oleh kita. Haruskah beberapa siswa dibiarkan mendekat maut? Juga beberapa siswi cara duduknya tidak sopan. Berhentilah barang sejenak dan mengingatkan. Siapapun anda. Janganlah mereka dibiarkan mendekat maut dan mentradisikan duduk kurang sopan.

Menyusuri ruang-ruang kelas pada jam pertama pelajaran akan dimulai. Sampah-sampah yang seharusnya pada tempatnya, dibuang pada selokan. Beberapa ruang kelas masih kotor, belum dibersihkan. Tidak nyaman dan tidak menyenangkan. Masihkah dibiarkan? Seharusnya tidak. Siapapun guru harus memberi tauladan. Ajaklah siswa bersama-sama memungut sampah yang tidak pada tempatnya. Letakkan pada tempatnya. Jangan memulai pelajaran dalam kondisi kelas kotor. Tidak sedap dipandang dan dirasa. Guru harus berinisiatif dan mengajak dengan senang hati untuk lebih dulu membersihkan kelas. Barulah proses pembelajaran dilaksanakan.

Beberapa guru bersemangat untuk menunaikan kewajiban. Agar amanah tidak lupa laptop disandang gagah perkasa. Semangat yang membuncah telah siap dengan multimedia yang dirancang. Sesampainya kelas. Dilihatnya sarana kelas multimedia tidak mendukung. Aliran listrik tidak ada, yang adapun mati terkapar. Siapa yang harus disalahkan? Pastinya ada yang harus tanggung jawab. Kepala sekolah sebagai top leader? PLN dan dunia usaha? Komite Sekolah dan masyarakat? Mungkin juga guru? Seharusnya memikirkan dan jangan saling tidak mempedulikan. Duduk bersama, saling memberi masukan, saling mendukung pendanaan, dan menyediakan ruang belajar yang representatif sesuai tuntutan jaman. Seharusnya dikedepankan dan jangan dibiarkan. Berikanlah sarana terbaik yang aman dan nyaman bagi anak-anak kita. Jangan hanya menunggu hibah dan bantuan dari pemerintah. Sumbangan dan kepedulian semua pihak adalah wujud amal jariyah. Untuk anak-anak kita.

Kembali berjalan mengelilingi kelas-kelas tempat bernaung anak-anak kita. Sebagian dindingnya ada yang mengelupas. Eternitnya terkuak menunggu saat untuk jatuh menimpa yang ada di bawah. Musim hujan, atap-atap naungan mereka bocor menerpa. Sebagian gedung yang lain, temboknya retak-retak terbiarkan. Haruskah anak-anak sendiri menguliti dinding yang mengelupas? Atau harus menunggu eternit menghunjam tubuh-tubuh ringkih mereka. Haruskah anak-anak bingung mencari tempat yang tak kena air hujan? Ataukah tembok-tembok yang retak siap menindih mereka. Kita terbiasa menunggu korban. Baru bergerak. Atau hanya diam menjadi penonton yang tak budiman.

Pada jam istirahat, sudahkah guru dan kepala sekolah melihat keadaan? Tengok dan perhatikan tingkah mereka. Jika mereka kita biar bebas lepas. Anak-anak akan lepas liar tanpa pengawasan. Jangan salahkan mereka tumbuh brutal. Di sudut sepi ruang sekolah, bergerombol siswa dengan celotehnya. Entah karena apa, suasana dipanaskan emosi. Dalam sekejap terjadi adu pukul antar teman. Di pojok ruang sekolah sepi yang lain, sepasang siswa siswi sedang bercanda. Bukan hanya canda, tapi bisa jadi mereka membahas hubungan pribadi. Bisa jadi janjian untuk ML. Bisa jadi dan tak perlu dipungkiri.

Di dalam ruang kelas, beberapa siswa bergerombol. Wajah tegang kadang diselilingi cengengesan, bisa jadi cengar cengir berjingkrak riang. Apa yang mereka lakukan? Memelototi pornografi dan pornoaksi yang disandiwarakan. Jangan salahkan, jika hal ini dibiarkan, mereka akan menjadi aktor dan aktris pornoaksi meski amatiran. Mengapa? Karena sekolah melakukan pembiaran. Kepala sekolah sibuk dengan segala urusan. Guru lebih mementingkan mempersiapkan seabrek perangkat pembelajaran. Sibuk mengevaluasi berbagai hasil ulangan. Bahkan lebih senang ngrumpi di sarangnya. Jangan dibiarkan. Berdayakan guru piket dan jika perlu bentuk tim kedisiplinan. Tradisikan anak selalu terdampingi dalam kegiatan dan dalam kesempatan apapun.

Tidak jarang juga, pada saat jam sekolah yang seharusnya mereka belajar. Beberapa siswa lepas dari kandangnya. Dengan berbagai alasan maupun cara yang licik dan licin seperti belut. Kemana mereka? Berkumpul dengan genk-nya di suatu sarang penyamun. Merokok ngebal ngebul dan menenggak miras hingga teler. Yang lebih miris, tidak jarang beberapa siswi, berjilbab pula, ikut teler di pinggiran kali dan rimbun semak yang sepi.

Juga tak jarang dan terekam mata maupun kamera, beberapa muda-muda ingusan mengumbar sahwat di tempat umum. Siapa yang seharusnya bertanggung jawab? Kita, adalah kita yang seharusnya bertanggung jawab. Jangan hanya pandai menyalahkan pihak sekolah. Pendidikan adalah kita. Sudah saatnya masyarakat tergerak dan bergerak. Jangan hanya menjadi penonton yang kalah oleh perilaku amoral. Beranilah menegur dan mengingatkan. Jika perlu segera gerebek dan laporkan atau serahkan pada pihak yang berwenang. Siapakah pihak berwenang? Dinas pendidikan, kepolisian, pemerintah dengan peran Satpol PP, lembaga sekolah, dan masyarakat. Seharusnya sama-sama tergerak dan bergerak. Tidak membiarkan atau bahkan menjadikan tontonan dan sumber berita yang laris manis diperjualbelikan.

Pada saat pelaksanaan Ujian Nasional dan masih hangat kita saksikan. Gerombolan liar berseragam pamer kekuatan dan keangkuhan. Jalanan seakan menjadi milik mereka. Euforia menjadi tontonan dan kesenangan sesaat. Membingkai potret dunia pendidikan yang diamburadulkan. Mengapa dibiarkan dan selalu terulang menjadikan tontonan yang tak aman dan nyaman? Sumber masalah ada pada kita. Keluarga kalah dengan keinginan mereka yang berseragam (walau tidak semuanya) untuk unjuk kepongahan. Seharusnya yang berseragam dilarang membawa kendaraan bermotor. Antar saja mereka selama dan sesudah menempuh ujian.

Lembaga sekolah dan kepolisian juga demikian, jika melarang jangan setengah-setengah. Sinergikan dengan pihak kepolisian dan pemerintah setempat. Jika perlu, antara orang tua, lembaga sekolah, kepolisian, aparat pemerintah mulai dari unit terkecil hingga masyarakat, satu tekad dalam tindakan. Mencegah dan menolak konvoi ataupun tawuran berseragam yang jelas-jelas membuat tidak aman dan nyaman kepentingan masyarakat umum. Tekad ini jangan hanya slogan yang digembar-gemborkan. Turunlah ke jalanan. Tangkal dan jika perlu tangkap bagi yang membandel untuk dibina secara humanis.

Jaman berubah, bukan dulu lagi yang serba teratur dan gampang diatur. Teknologi informasi dan komunikasi berkembang pesat. Segala akses berita dan hiburan baik yang positif dan negatif mudah di akses. Jangan biarkan yang berseragam, belum dewasa fisik dan psikisnya, diracuni pikiran dan kebiasaan kotor. Jika kita perhatikan tingkah mereka di rumah, ada beberapa indikasi sepele yang kadang luput dari pantauan. Apa itu? Membiarkan anak menikmati gadgetnya di kamar dengan pintu di kunci. Mengapa? Sangat dimungkinkan mereka mengakses situs porno dan membully lewat media sosial. Hingga lupa waktu dan kewajiban. Orang tua seharusnya bertindak secara dinamis. Jika memang waktunya anak dibolehkan memegang gadget untuk kepentingan mereka. Atur dan kontrol penggunaannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun