[caption caption="manggamuda.files.wordpress.com"][/caption]Rumah setengah gedung di pinggiran desa yang sunyi. Seorang dokter berkaos warna biru polos keluar dengan menenteng tas. Sekilas kemudian dia berpamitan pada perempuan tua didampingi anak lelaki setengah baya. Perempuan tua itupun membungkukkan badan dan bergegas masuk ke rumahnya.
”Dokter Ridwan sudah pulang Bu...?” tanya Kedasih dengan bibir bergetar.
”Sudah Dasih. Sebaiknya kamu tidur dulu yaa ...” kata Ibu Kedasih sambil membenahi selimut lusuh yang membungkus tubuh putrinya.
Kedasih hanya mengangguk lemah. Matanya yang sudah agak rabun, melihat Ibunya keluar kamar menenteng baki berisi air hangat. Seorang ibu sejati yang penuh kasih dan sayang.
Tubuh Kedasih kini seakan tinggal kulit dan tulang. Perut keras membuncit disumbat kanker rahim. Kulit penuh bercak merah menjijikkan bagi orang lain. Tidak bagi ibunya. Yang tiap pagi, siang, dan sore selalu diseka dengan air hangat. Hingga Kedasih mampu bertahan dari siksa detik ini jua.
Kedasih menatap langit-langit kamar yang seperti berputar. Mata yang nampak memerah itu berusaha dipejamkan, namun tak kunjung terpejam dalam tidur.
Pikirannya menerawang. Ingat pada masa yang telah lewat. Sekian tahun yang lalu. Lamunannya tertuju pada Tante Lusi dengan segala kenangan yang ada. Setahun selepas SMA, Kedasih terpaksa bekerja pada Tante Lusi. Seorang mucikari berkelas omzet jutaan bahkan ratusan juta. Lihai terkoneksi pada kelab malam Surabaya Kota Pahlawan.
Mau bagaimana lagi. Keadaan tak berpihak pada keinginan Kedasih. Ijazah sebatas SMA, ditambah paras ayu dan tubuh seksi. Hanya mentok jadi SPG bergaji satu jutaan. Nggak cukup apalagi lebih TUAN.
Sembilan bulan persis seusia bayi dalam kandungan. Kedasih hanya mampu bertahan bekerja sebagai SPG yang hanya molek di dandanan.
Awal bulan ke sepuluh bekerja sebagai SPG di salah satu swalayan Kota Pahlawan. Pada siang yang sedikit mendung, Kedasih tersungkur rayuan gaji besar Tante Lusi.