Pembelajaran dalam pendekatan berbasis aset berusaha untuk menciptakan hubungan antara konten pembelajaran dengan konteks kehidupan peserta didik. Hal ini membantu peserta didik melihat relevansi dan signifikansi dari apa yang mereka pelajari dengan pengalaman sehari-hari.
Dalam pendekatan berbasis aset, sumber daya lokal diidentifikasi dan dimanfaatkan sebagai bahan pembelajaran. Langkah yang membantu murid untuk memahami hubungan antara pembelajaran dan lingkungan mereka.
Pendekatan berbasis aset mendorong kolaborasi antara murid, pendidik, dan masyarakat. Murid diajak untuk berpartisipasi dalam proyek-proyek atau kegiatan yang melibatkan masyarakat sehingga mereka dapat belajar dari pengalaman nyata di luar kelas.
Contoh Nyata Sekolah Berbasis Aset dan Peran Komunitas yang MenginspirasiÂ
Implementasi kurikulum merdeka di beberapa sekolah mendorong harmonisasi program yang memanfaatkan aset dan peran komunitas. Terjalin sinergi untuk menerapkan pengetahuan dan memberikan keterampilan yang berguna dimasa depan baik bagi murid dan masyarakat.
Peran lingkungan yang saling mendukung telah menciptakan pola lebih tentang "apa yang bisa sekolah berikan ke murid dan masyarakat". Sehingga tercipta kultur penyiapan generasi penerus yang berjiwa pelestari nilai-nilai lokalitas, khususnya di bidang sosial budaya.
Kontinuitas sekolah sebagai penjaga dan pelestari nilai tradisi lokal sangat relevan dengan tantangan yang semakin kompleks di era globalisasi. Memberi harapan dan jawaban nyata terbentuknya generasi penerus berkarakter dalam menjalani dan menghadapi dinamika global dengan tetap berpijak pada nilai-nilai lokalitas yang ada (think locally act globally).
Apa dan bagaimana program sekolah berbasis aset dan peran komunitas yang menginspirasi di implementasi kurikulum merdeka? Berikut contoh yang penulis ambil di 3 sekolah yang menerapkan kurikulum merdeka:
Pertama, Program Pembiasaan Ibadah.
Program sekolah ini masuk pada kegiatan intrakurikuler. Terkait dengan penanaman nilai-nilai keagamaan khususnya pembelajaran agama.
Menariknya, pembiasaan ibadah yang dilakukan di SMP Negeri 1 Sukapura dan SMP Negeri 1 Kraksaan memiliki karakter student centered. Murid sebagai pusat kegiatan dalam ibadah.
Artinya, murid oleh sekolah dan guru diberdayakan untuk melaksanakan dan memimpin peribadatan sebagai pembiasaan di sekolah. Strategi ini berangkat dari pemikiran berikut:
"Guru memimpin ibadah adalah hal yang biasa, tetapi murid yang melaksanakan dan memimpin ibadah adalah hal yang luar biasa".
Bagaimana peran sekolah dan guru? Sekolah sebatas memberikan fasilitas yang layak. Sedangkan guru sebatas mendampingi dan atau makmum baik sebelum, selama, dan setelah kegiatan ibadah berlangsung.