Banyak pertanyaan dari rekan guru, mengapa Pendidikan Guru Penggerak (PGP) menempatkan guru jenjang TK hingga SMA/Sederajat di satu ruang kelas? Pertanyaan yang sering mengusik dan perlu diperjelas dengan tegas.
Guru Penggerak merupakan program pendidikan yang diselenggarakan oleh pemerintah. Melalui Kemendikbud (Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan), pemerintah ingin terus meningkatkan profesionalitas guru.
Pekerjaan guru adalah profesi, yaitu pekerjaan yang membutuhkan pendidikan keahlian. Predikat yang disandang juga oleh profesi seorang dokter, akuntan, dan lainnya.Â
Dinamika dunia pendidikan menuntut profesionalitas guru terus diupgrade. Sesuai pula dengan kurikulum yang dinamis.
Program Pendidikan Guru Penggerak (PPGP) memiliki keunikan. Diselenggarakan dengan model daring, luring, pendampingan, dan lokakarya. Bahkan guru TK hingga SMA/Sederajat yang terjaring Pendidikan Guru Penggerak (PGP) disatukan dalam satu kelas.
Lantas, mengapa para guru TK hingga SMA/Sederajat di PGP ditempatkan dalam satu kelas? Apa saja tujuannya? Berikut penjelasannya:
Pertama, sharing keilmuan mengajar.
Seorang guru tidak boleh sembarangan dalam memberi pelajaran (mengajar). Ada proses keilmuan bagi calon guru di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK).
Bukan itu saja. Guru yang sudah mengajar di sekolah dan atau lembaga satuan pendidikan wajib untuk meningkatkan keilmuannya secara dinamis untuk menjawab tantangan zaman yang semakin kompleks. Sehingga pemerintah memfasilitasi lewat program bimbingan teknis (bimtek), pendidikan dan latihan (diklat), maupun program lainnya.
Melalui PPGP, guru TK hingga SMA/Sederajat diseleksi dan dilatih untuk lebih mumpuni di bidang ilmu mengajar.
Para CGP (Calon Guru Penggerak) dari TK hingga SMA/Sederajat di satu ruang kelas saling berbagi (sharing) ilmu mengajar. Memungkinkan saling tukar pengalaman, metode, dan solusi menyangkut perangkat, bahan, media, evaluasi, dan tindak lanjut dalam mengajar.
Alhasil, pengalaman guru TK dan SD (Kelas Rendah) yang harus merancang bahan ajar dan membuat sendiri media mengajarnya, bisa diterapkan di jenjang SMP dan SMA/Sederajat dengan melibatkan langsung siswanya.
Artinya, pengembangan bahan ajar dan media pembelajaran bukan lagi bertumpu pada guru. Peran guru sebagai fasilitator lebih bisa mendorong partisipatif siswa untuk mengembangkan bahan ajar dan media pembelajarannya. Tentu semua dilandasi kurikulum yang berlaku.
Contoh konkretnya begini. Jika di jenjang TK dan SD Kelas Rendah guru perlu membuat dan mengembangkan materi ajar dan merancang media berbentuk movablebook dan poster 3D, maka di jenjang SMP dan SMA bisa dilimpahkan dengan pelibatan langsung siswa untuk merancang dan membuat media pembelajaran berbentuk movablebook dan poster 3D.
Lantas, apa peran guru? Guru berperan sebagai fasilitator (menyiapkan contoh/model movablebook dan poster 3D beserta penjelasannya) dan evaluator (menyiapkan rubrik penilaian hasil produk yang valid, reliabel, relevan, proporsional, dan praktis).
Kedua, sharing keilmuan dan pengalaman mendidik.
Pengajaran bagian dari pendidikan. Tugas kompleks guru justru adalah mendidik. Bukan sebatas mengajar. Makanya sekolah disebut juga lembaga pendidikan. Bukan lembaga pengajaran.
Orang tua menitipkan anaknya ke sekolah untuk menuntut ilmu dan sekaligus mendidiknya. Bayangkan tugas berat Guru Kelas (di TK dan SD), mengajar dan mendidik 15 hingga 40 anak di satu ruang kelas.
Sedangkan di jenjang SMP hingga SMA/Sederajat (Guru Mata Pelajaran) bisa sampai ratusan anak. Kesemuanya titipan orangtua. Baik anak dan orangtua memiliki karakter yang berbeda. Memiliki keinginan dan keunikan beragam yang tercermin dari sikap, juga tingkah laku nan kompleks.
Sikap dan tingkah laku yang kompleks dari individu siswa harus dilayani secara adil dan humanis oleh para guru. Seandainya orangtua sehari saja menggantikan peran guru sebagai pengajar dan pendidik, sanggupkah? Jawabannya pasti kompleks dan kondisional.
Mendidik anak TK dan Kelas Rendah butuh ketelatenan yang luar biasa. Bahkan wajib memperlakukan anak didik seperti anaknya sendiri. Buktinya, di Kelas Guru Penggerak pasti tercetus pengalaman bagaimana seorang guru TK dan Kelas Rendah harus membersihkan badan dan tempat anak yang "buang kotoran" di ruang kelas.
Anak jenjang TK dan SD Kelas Rendah juga cenderung minta perhatian secara personal. Sehingga guru harus sampai menggendongnya untuk menenangkan jiwa gelisah mereka. Apakah ini juga dilakukan guru jenjang SMP hingga SMA/Sederajat? Tentu beda memperlakukannya dan ini ada dalam ilmu mendidik di Kelas PGP.
Apakah dengan ilustrasi di atas tugas mendidik guru SMP dan SMA/Sederajat lebih ringan? Tidak demikian adanya. Anak SMP dan SMA/Sederajat sudah mengenal jiwa kegelisahan, penyimpangan, bahkan perlawanan.
Artinya, tugas guru sebagai pendidik di semua jenjang memiliki tanggung jawab besar dan risiko-risiko yang tidak terduga. Untuk inilah guru terus dituntut keilmuan mendidiknya dengan lebih memahami budaya positif dan model restitusi dalam menyelesaikan permasalahan-permasalahan anak yang dititipkan orangtuanya.
Di Kelas PGP, para guru dari jenjang TK hingga SMA/Sederajat dibudayakan untuk saling memahami dan menguatkan tentang kompleksitas guru sebagai pendidik. Mendidik anak-anak harapan masa depan sesuai tuntutan jati diri bangsa, nilai-nilai budaya di masyarakat, dan tuntutan zaman yang semakin kompleks.
Ketiga, sharing ilmu dan pengalaman kepemimpinan.
Lembaga sekolah sebagai lembaga pembelajaran dan pendidikan membutuhkan pemimpin yang visioner. Memikirkan dan berusaha keras mencapai kemajuan-kemajuan secara manajerial.
Kelas PGP juga membedah kepemimpinan sekolah. Sektor yang berperan besar dan menjadi kunci untuk mengeksekusi semua kebijakan di garda depan pendidikan nasional secara kelembagaan di akar rumput.
Meskipun tidak harus dipukul rata, masih ditemukan kepemimpinan di sekolah yang otoriter, anti kritik, anti demokrasi, dan non delegasi. Akibatnya, saluran komunikasi dan kolaborasi tersumbat dan berujung kemandegan program.
Apakah kepemimpinan sekolah tidak dibekali ilmu? Tentunya sudah dan kesemuanya terstruktur lewat Diklat Calon Kepala Sekolah dan Diklat Penguatan Kepala Sekolah.
Namun, kesemuanya kembali pada karakter personal kepala sekolah. Harapan ideal harusnya tetap pada koridor pemimpin yang memiliki sikap sebagai manajer, delegatif, demokratis, kolaboratif, dan visioner.
Sharing kepemimpinan ada di PGP jenjang TK hingga SMA/Sederajat dalam satu ruang kelas. Mencakup 4 tujuan ke depan lembaga sekolah, yaitu: (1) mengembangkan pembelajaran yang berpusat kepada peserta didik; (2) mewujudkan lingkungan belajar yang aman, nyaman, dan inklusif; (3) membangun budaya refleksi; dan (4) meningkatkan kualitas proses dan hasil belajar peserta didik.
Referensi: Modul PPGP dan Buku Saku Kebijakan Penugasan Guru Sebagai Kepala Sekolah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H