Di Masjid Jamik Kejayan masih ramai orang-orang beribadah. Ada yang salat. Ada juga yang berzikir dan mengaji.
Ucup bergegas berwudu dan menunaikan salat Zuhur sendirian di beranda samping kanan masjid. Ruang beranda yang cukup lebar dan terbuka memungkinkan angin sepoi-sepoi menyapa tubuh Ucup. Memberikan kesegaran dan kebugaran berlipat. Melupakan sejenak rasa dahaga yang sempat menggoda kerongkongan seakan dikeringkan.
Saat berdo'a, pikiran Ucup ingat ayahnya. Sudah lebih dari dua bulan tiada kabar yang pasti. Hanya sempat seminggu setelah pamit merantau, ada pesan dari teman ayah dari desa sebelah, sempat ketemu ayah Ucup di Jakarta. Entah Jakarta mana pastinya.
Zaman dulu belum ada handphone. Kabar yang bisa didapat hanya lewat surat-menyurat. Andaikan mau menelepon, masih memanfaatkan warung telepon dan juga telegram. Sedangkan di rumah Ucup dan tetangga, belum ada yang punya telepon.
Dalam do'a, Ucup menunduk penuh kepasrahan. Air matanya tak terasa menetes. Jatuh di sarung kumalnya,"Ya Allah. Jika Engkau perkenankan. Semoga ayah pulang hari ini. Menjelang hari raya. Di bulan yang penuh keberkahan dan ampunan-Mu".
Pundak Ucup berguncang pelan. Menahan isak tangis disebab rindu pada sosok ayah yang sangat menyayanginya.
***
Kembali ke pasar, hanya ada dua pedagang ayam. Masih setia menunggu pembeli untuk menangguk tambahan rezeki. Maklum, satu hari menjelang hari raya Idul Fitri, kebutuhan meningkat. Perlu tambahan rupiah untuk kebutuhan merayakan hari kemenangan dengan keluarga, tetangga, dan kerabat.
"Hanya tersisa ayam jago besar ini, Kek?" Tanya Ucup.
"Ya, cucuku. Semoga laku meskipun harganya mahal. Nanti bisa buat beli baju lebaran. Ucup khan belum punya baju baru."
Ucup menatap wajah kakeknya,"Baju Ucup masih lumayan bagus, Kek."