"Nama Ibu siapa?" Tanya istriku lagi.
Ibu calon ART masih asyik mengunyah dan kembali tidak menjawab. Akhirnya Pak Satpam menepuk pundaknya dan cukup keras berkata,"Ditanya Ibu. Siapa namanya!".
"Hah?!" Tanya Ibu calon ART kaget.
Ya ampun. Penulis dan istri kembali saling pandang dan tersenyum kecut. Perkiraan kami, Ibu calon ART mengalami gangguan pendengaran.
"Nama Ibu siapa?" Kembali Pak Satpam bertanya dengan suara ditekan lebih keras.
"Oh, Tinah." Jawab Ibu calon ART singkat. Lantas meletakkan racikan nginangnya yang sudah dikunyah begitu saja di meja tamu, tanpa diberi alas tissue yang kami sediakan.
Tidak berhenti di situ. Ibu calon ART tiba-tiba ke luar menuju garasi. Langsung meludah untuk membuang sisa kunyahan nginangnya di sela-sela garasi. Seketika istri dan penulis saling membelalak. Bukan lagi saling pandang mesra.
"Ibu silakan diminum tehnya. Habisin ya." Pinta istriku sembari mencubit pahaku. Cukup sakit kurasakan dan aku paham itu sebagai kode alam untuk segera mengambil keputusan.
Auto Cut!
Segera penulis mengajak Satpam ke depan. Sementara istri dengan agak risih menemani Ibu calon ART yang kembali asyik menginang.
"Pak Satpam. Jangan bawakan ART yang seperti ini. Maaf, dekil banget. Lihat tangan dan kakinya kotor. Belum lagi nginangnya jorok banget." Kataku menjelaskan.
"Saya yang minta maaf, Pak. Kirain tadi tidak nginang." Jawab Satpam.