Hujan, menghadirkan tatapan sepasang mata senja. Ada letupan-letupan bahagia di beranda. Bait-bait renjana, mencipta puisi cinta.
Hujan pula, menutup cerita di antara larik-larik duka. Betapa singkat bahagia membahana. Betapa pekat mendung-mendung luka meluruhkan nestapa.
Gelombang waktu memisahkan cerita. Nun jauh tanpa aksara. Puisi cinta terlilit benang-benang luka lama. Tanda tanya, hanyalah mimpi-mimpi bunga asa.
Saat waktu menghentak duka luka, ada fatamorgana melukis bianglala. Kegenitan pikiran sesaat menggulma. Ada tanya, akankah lupa?...Â
Baginya, puisi keabadian cinta menjawab keraguan-keraguan di titik-titik persimpangan tanda. Tak kan pernah lupa. Tak kan pernah binasa.
Puisi cinta, abadi dalam sanubari. Namun waktu, seringkali mencipta airmata. Duka luka, masih menganga. Apakah kau rasa juga?...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H