"Rasa coklat, Gha?"
Dari suara saja, Pak Sumirat sudah hafal dengan siapa ia bicara.
"Coklat dan isi daging sapi, Pak. Jadikan dua bungkus, ya"
"Tumben dua bungkus?"
"Satu bungkus untuk anak-anak belajar Solawatan di Musholla. Satu bungkus untuk warga piket jaga di Poskamling"
"Baik. Tunggu sebentar, ya"
***
Agha memandang sosok tua di depannya. Gerak tangan kanan Pak Sumirat terlihat masih cekatan memindahkan dan menata bakpao ke kotak karton.
Saat ini Pak Sumirat hanya tinggal berdua dengan istrinya. Dua anaknya sudah berkeluarga dan hidup mapan. Di usia menjelang uzur, Pak Sumirat dan istrinya bertekad mandiri. Menggantungkan hidup kepada kedua anaknya bagi mereka pantangan, apalagi orang lain.
Banyak orang terkadang merasa iba dengan keadaan Pak Sumirat. Menurut pemikiran orang-orang, kelemahan fisik dan usia semakin menua sudah tidak sepatutnya mendorong gerobak. Menjual bakpao dari sore hingga larut malam.
Terkadang ada orang yang memberi uang dan bingkisan lainnya sebagai rasa iba. Pak Sumirat menolak dengan halus. Menurutnya, rezeki akan lebih barokah jika orang mau membeli bakpaonya daripada hanya memberi sesuatu atas dasar rasa iba.