Terus terang, aku mulai tak tenang. Berita penculikan anak di koran dan media lokal ikut menari-nari di pelupuk mata. Ah, jangan-jangan semakin kuat mendengung di dalam telinga. Aku tak kuat lagi. Maka, aku segera berdiri. Mengunci pintu rumah dan pagar. Menjemput bola. Mencari capung-capung nan genit. Meninggalkan istriku yang masih lelap.
***
Langkahku seperti tentara menuju palagan perang. Genderang “jangan-jangan” terus terngiang-ngiang. Belum lagi bisikan-bisikan hasut dari setan-setan yang usil, tiba-tiba muncul di telinga kiri. Setan-setan yang menghembuskan pikiran agar aku bertindak tegas pada capung-capung nan genit.
Ya, aku mulai terpengaruh bisikan setan. Dalam pikiranku, mulai muncul andai-andai. Jika seandainya kutemukan capung-capung nan genit itu, maka akan aku bentak-bentak mereka. Cukupkah? Belum cukup, kata setan. Jikapun perlu, semua akan kucubit, bisa jadi kujewer telinganya sampai memerah.
Sore yang pengap. Jalanan untuk sampai ke musholla terasa panas. Matahari masih nampak menyombongkan kekuatannya. Membuatku semakin lebih dalam termakan bisikan-bisikan setan. Tangankupun mulai mengepal. Bergetar hebat.
Sesampai di musholla, sepi. Tak kutemukan capung-capung nan genit. Hatiku berkobar-kobar. Amarah seakan menumpuk dan menggumpal. Di mana gerangan capung-capung nan genit?...
***
Aku tancap gas. Kakiku bergegas melangkah. Terminal, tujuan pertama yang harus aku tuju. Tempat terdekat yang memungkinkan capung-capung lepas kendali. Terbang liar menuruti nafsu mereka. Pikirku.
Selepas belok dari gang musholla, sayup-sayup kudengar celotehan capung-capung nan genit. Mata semakin awas. Telinga semakin tajam. Aku berhenti di tengah jalan. Di terik sengat matahari yang sudah agak condong ke barat.
Gang sebelah musholla, capung-capung bermunculan. Mereka tertawa-tertawa. Entah apa yang ditertawakan. Amarahku meluap. Ingin rasanya kujewer mereka. Tapi, hati kecilku berkata “Jangan!”,
“Hei, Agha! Dari mana saja? Mulai tadi ayah mencari. Ayah khan sudah bilang, azan Ashar segera pulang!”